Konsumen membeli minyak goreng kemasan di minimarket Tangerang Selatan, Jumat (6/4). Kementerian Perdagangan mewajibkan produsen minyak goreng menjual minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp 6500, Rp 10.500 dan Rp 11.000./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/06/04/2018.
Tahun 2020 sudah didepan mata. Pelaku industri minyak goreng (migor) yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) berharap kewajiban migor dalam bentuk kemasan bisa dijalankan.
Dalam persaingan minyak nabati dunia, faktor keberlanjutan dan kesehatan menjadi sorotan dan berdampak langsung terhadap penyerapan pasar. Isu kebijakan terhadap minyak berbasis GMO dan larangan pada makanan trans-lemak, berdampak pada peralihan pilihan konsumen dari minyak kedelai dan minyak bunga matahari ke minyak Kelapa Sawit sebagai bahan baku dalam makanan.
“Artinya tudingan tanaman Kelapa Sawit menjadi penyebab deforestasi, emisi gas rumah kaca, pekerja anak, eksploitasi masyarakat dan pemicu konflik lahan harus ditanggapi dengan menunjukkan.praktik-praktik keberlanjutan oleh para pelaku usaha dan petani mitranya,” tegas Bernard Riedo, Ketua Umum GIMNI.
Ini\’ penting, sebab menurut Bernard keberlanjutan dalam industri kelapa sawit, harusdimulai dari hulu ke hilir. Proses penanaman, termasuk penggunaan bibit sawit berkualitas, budidaya, panen hingga proses pengiriman ke pabrik minyak ke- lapa sawit harus mampu menunjukkan bahwa keberlanjutan menjadi bagian integral bagi perusahaan.
“Jadi keberlanjutan menjadi faktor penentu dalam keberhasilan perdagangan minyak Kelapa Sawit Indonesia di pasar internasional,” tegas Bernard.
Atas dasar itulah, Bernard menegaskan bahwa pihaknya mendorong seluruh anggota GIMNI untuk menjadi role-model dalam praktik-praktik pengelolaan dan pengolahan Kelapa Sawit berkelanjutan. Sebab perkebunan Kelapa Sawit memberikan kesejahteraan bagi petani.
Kemudian, tidak melakukan penanaman baru di gambut, pengembangan kapasitas terhadap petani agar dapat mengelola kebun sawit secara berkelanjutan dan menggalakkan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat.
Hal-hal tersebut selain memberi manfaat bagi lingkungan dan masyarakat perusahaan juga akan dapat merasakan manfaatnya, seperti akses pasar global, peluang bisnis komersial, reputasi atas perusahaan dan merek dagang di mata konsumen.
Sementara itu, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gi-mni menambahkan bahwa program migor kemasan adalah momen besar bagi republik untuk mengubah kebiasaan masyarakat, yang biasanya pakai curah untuk beralih lebih besar.
“Jika tanggal 1 januari 2020 dimulai, seharusnya Presiden (Jokowi) launching program ini. Dengan pakai migor kemasan maka biaya kesehatan (BPJS) dapat ditekan,” harap Sahat
Sebab, Sahat mengakui bahwa masyarakat marak terjadi pemakaian minyak jelantah yang tidak diketahui asal usulnya. Apalagi pemerintah belum punya aturan mengenai minyak jelantah yang berbahaya bagi kesehatan.
Itu sebabnya, Sahat meminta program minyak kemasan un tuk dijalankan awal tahun depan. Tidak lagi ditunda atau diundur waktunya.
Seperti diketahui bahwa peredaran migor curah di pasar retail mencapai 3,35 juta ton atau ekuivalen 3,38 miliar liter pada 2019. Jika program kemasan berjalan, maka\’ butuh 10,71 miliar kantong plastik apabila dibungkus produsen migor. Ini artinya dibutuhkan 1.558 filling machine dengan kecepatan 800 pack/jam.
Mendengar fakta terse- but, Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI Periode 2016-2019 menyarankan kalangan industri aktif mempromosikan penggunaan minyak goreng kemasan. Tujuannya, masyarakat memahami pemakaian kemasan ini bermanfaat bagi kesehatan mereka, tidak sebatas kepentingan pemerintah atau pelaku usaha.”Kalangan pelaku industri dapat melibatkan perguruan tinggi dan stake-holderlainnya, sehingga minyak goreng kemasan dapat diterima dengan baik,” ucap Enggartiasto, atau biasa disapa Enggar
Akan tetapi, Enggar mengingatkan untuk menjual minyak goreng kepada konsumen dalam bentuk kemasan harus memenuhi ketentuan yang berlaku. Harapannya awal tahun 2020 tidak ada lagi minyak goreng dalam bentukcurah.
“Pada Januari 2020 nanti tidak ada lagi minyak goreng curah sampai ke desa, sampai ke pelosok hingga ke pasar-pasar,” ujar Enggar. Seperti diketahui penerapan migor kemasan dijalankan berdasarkan Per-mendag Nomor 09/2019.
Atasdasaritul ah, Enggar juga berharap produsen migor kemasan bisa meningkatkan mutu dan keamanan pangan yang dikonsumsi, salah satunya melalui program pengalihan minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan.
Sebab untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidaklah main-maian, atau bisa mencapai 5,1 juta ton. Adapun sisanya untuk kebutuhan pasar luar negeri.
“Dari kebutuhan dalam negeri hampir 50 persen masih dikonsumsi dalam bentuk minyak goreng curah yang belum terjamin kebersihannya, baik dari sisi produksi maupun sisi distribusi,” kata Enggar.
Disisi Iain, menurut Enggar,kebijakanwajibkemas minyak goreng merupakan bagian dari program strategis pemerirttah yaitu program peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Sehingga Kebijakan tersebut untuk mendorong masyarakat agar mengonsumsi minyak goreng kemasan karena lebih terjamin mutu dan keamanannya. Program ini telah dilakukan sejak 2014 melalui penerbitan kebijakan minyak goreng kemasan yang mulai diberlakukan pada 1 April 2017.
Namun, implementasi kebijakan ditunda dikarenakan belum siapnya produsen minyak goreng perluas unit pengemasan industri pengemasan di daerah.”Sejalan dengan penerapan SNI Wajib Minyak Goreng, kebijakan wajib kemas minyak goreng akan diberlakukan pada 1 Januari 2020 tanpa ada masa transisi,” tutur Enggar.
Sumber: Harian Ekonomi Neraca