Walaupun komoditas strategis, pelaku usaha sawit merasakan kebijakan dan regulasi tidaklah menguntungkan. Terlalu banyak kementerian dan lembaga negara yang mengaturnya.

Pada awal Oktober lalu, sejumlah tokoh dan pelaku senior perkebunan sawit berkumpul dalam diskusi webinar mengenai ancaman terhadap sawit. Ancaman ini bukan datang dari luar negara. Tetapi datang dari pemerintah melalui kebijakannya.

“Sawit ini menghadapi banyak persialan dan ancaman. Ini harus bisa dilihat secara mendalam. Jangan sampai nasibnya seperti rempah-rempah di abad 18 dan 19 lalu,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ketika berbicara dalam diskusi yang dihela oleh GAPKI Sumut dan Aceh.

Sahat mengatakan sawit merupakan tanaman ajabi karena satu-satunya pohon menghasilkan 2 jenis minyak nabati yaitu lauric & palmitic. Tanaman ini diproyeksikan dapat menjadi substitusi minyak bumi. Secara kimiawi, minyak sawit menghasilkan Industrial Vegetable Oil (IVO)  menyerupai Solar C 16-18 dan  ILO menyerupai Avtur C-12.

Dikatakan Sahat, karakteristik minyak sawit sangatlah unik. Karena terdapat kandungan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti, α-Carotene, β – Carotene, Vit. E, Lycopene, Lutein, Sterol, Unsaturated FattyAcids, UQ-10. Selanjutnya, kandungan Saturated Fat ( palmitic) dan Unsaturated Fat ( oleic) seimbang, serta tidak mengandung trans fatty acids. Itu sebabnya, produk turunan sawit banyak dipakai industri makanan dan non makanan.

Kelebihan tanaman emas hijau ini mempunyai produktivitas tanaman tertinggi diantara tanaman minyak nabati lainnya sekitar 8-10 kali. Apalagi tanaman ini merupakan tanaman tahunan bukan semusim seperti minyak nabati lain. Rentang waktu usia tanaman ini sangat Panjang mencapai 22-25 tahun. Setelah itu tanaman diremajakan karena masuk usia tua.

Sahat menjelaskan hasil biomass sawit luar biasa dibandingkan dengan minyak nabati lain. Biomass dari sawit bisa 8 – 10 kali. Selain itu, sawit termasuk harganya juga murah murah di bawah harga Rapeseed Oil dan minyak nabati lain. Sebab harganya jauh lebih murah ketimbang minyak Rapeseeed. Selisihnya antara $US120-$US180 per ton.

“Harga CPO lebih murah. Kalau misalnya harga minyak sawit $US670 per ton, Rapeseed sudah $US790 per ton. Ini kita pakai harga acuan CIF Rotterdam,” katanya.

Keempat kelebihan inilah yang menjadikan CPO dan PKO mengungguli pangsa pasar soybean oil dan rapeseed oil. “Tidak heran tanaman ini dimusuhi banyak produsen minyak nabati lainnya melalui beragam kampanye di pasar global seperti deforestasi dan lingkungan,” jelasnya.

Sahat menyebutkan kampanye negatif tadi telah masuk ke semua lini di masyarakat yang menjelekkan sawit ini termasuk sejumlah media. Dan sayangnya, orang Indonesia sudah banyak yang terpengaruh oleh isu-su yang ditabur itu; hampir di segala lini termasuk oknum wakil rakyat.

Lebih jauh lagi, Non-Governmental Organization (NGO) memengaruhi KLHK, dan sejumlah kementerian. Alhasil, tidak ada kementerian yang fokus untuk bertanggungjawab tentang serangan terhadap kelapa sawit ini. Di sinyalir ada 17 kementerian yang mengurusi sawit. Lantaran begitu banyak, akhirnya, yang ada justru ribut. “Kenapa bisa seperti ini, ya inilah pintarnya penyusup itu.,” tegas Sahat.

Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, menegaskan gerakan anti sawit sudah membajak birokrasi pemerintah. Mereka pengaruhi kebijakan pemerintah. Caranya, membuat regulasi yang tidak berpihak kepada sawit.“Ini berbahaya sehingga membuat sawit semakin terkekang,” ujarnya.

Sebagai contoh, masalah keterlanjuran kebun di dalam kawasan hutan. Ia mengatakan KLHK diminta selesaikan kawasan hutan lewat Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan dan  Peraturan Menteri LHK Nomor P.83/2016 Tentang Perhutanan Sosial. “Kedua regulasi ini tidak menguntungkan sawit. Niat regulasi ini menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan. Tetapi tidak dipakai untuk kebun sawit,” jelasnya.

Dr. Sadino, Pengamat Kehutanan, menegaskan regulasi lingkungan hidup dan kehutanan  memang tidak pro sawit. Dapat diindentifikasi masalah tersebut mayoritas terkait legalitas lahan baik yang dialami oleh perusahaan perkebunan, dan juga koperasi perkebunan sawit, petani sawit maupun pekebun.

 

Sumber: Sawitindonesia.com