JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Peredaran minyak goreng daur ulang yang diolah minyak bekas pakai/jelantah masih ditemukan di masyarakat. Untuk mencegah penggunaan minyak goreng bekas pakai, ada baiknya dilakukan edukasi kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang efektif supaya minyak goreng jelantah tidak lagi digunakan masyarakat.
Proses menggoreng itu dibagi dalam 3 jenis tergantung pada temperatur/lama penggorengannya. a) Shallow Frying biasa disebut tumis-tumis dan waktunya singkat. b) regular frying bisa menggoreng tempe,ikan dan lainnya dengan temperatur 90 – 120 derajat Celcius dan relatif lama.
c) Deep Frying biasa dipakai dalam industri makanan seperti pop corn dan makanan cepat saji dengan temperatur di atas 170 derajat Celcius dan waktunya lama.
Selama penggorengan itu akan terjadi proses: oksidasi, hidrolisa & polimerisasi yang pada akhir proses pengggorengan apalagi minyak tersebut dipakai berkali-kali. Maka minyak goreng berbasis triglycerida mengalami perubahan kimiawi dan triglycerida akan berubah bentuk menjadi “polar compounds” yang saling terikat oleh “polar covalent bonds” , dengan titik didih dibawah bahan utama didalam minyak goreng – triglycerida.
Polar Compounds itu akan tetap berada didalam minyak jelantah, tidak akan terpisah bila hanya diolah dengan penyaringan/penjernihan warna biasa saja. Polar compounds ini bersifat toxin disebut HNE ( 4- hydroxyptrans2 – nonenal ) dan bila dikonsumsi HNE itu akan bereaksi dengan DNA( =Deoxyribon Nucleic acid) dan RNA ( Ribo Nucleic Acid ).
Cara termudah untuk melakukan pengujian minyak goreng apakah murni (belum terpakai) atau berasal dari jelantah sebagai berikut:
1) Tuangkan minyak goreng ke atas panci penggorengan lalu dipanaskan selama 1-1,5 menit.
2) Buka kertas minyak dan posisikan diatas panci berjarak sekitar 18- 20 cm diatasnya.
3) Aamati dalam waktu 3 menit apabila jumlah bercak atau titik-titik /spots pada kertas lebih
dari 10 titik / 10 cm2. Maka minyak tersebut jelek (banyak polar compounds yang mudah menguap)
Uji coba ini dilakukan Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI melakukan ujicoba sewaktu menjadi Production Manager Foods di industri margarine/shortening/speciality fats dan minyak goreng ).
Kalau mau lebih teliti, pakailah metoda AOCS untuk mengukur prosentase dari TPM (Total Polar Materials) di dalam minyak sebagai basis mengukur kualitas migor yang umum dipakai di negara-negara maju. Jika TPM lebih dari 20%, maka pengedar minyak goreng itu bisa dikenai sanksi berat karena dinyatakan sebagai pemberi racun pada masyarakat pengguna.
Sumber: Sawitindonesia.com