Terbitnya Peraturan Presiden Nomor Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia mendapat sambutan dari kalangan pengusaha dan petani. Beleid ini diharapkan dapat mempercepat dan memperkuat posisi industri sawit yang berkelanjutan baik di dalam dan luar negeri.
Akan tetapi, kalangan praktisi berpendapat masih ada sejumlah kelemahan dalam Perpres ISPO. Redaksi mewawancarai Dr. Sadino, Pengamat Kehutanan dan Dr. Tungkot Sipayung, Direktur PASPI untuk menanggapi keluarnya aturan ini yang sempat terkatung-katung selama tiga tahun lebih.
Dr. Tungkot Sipayung menuturkan dalam Perpres ISPO mengadopsi prinsip traceability (kebertelusuran) dari pabrik kelapa sawit PKS) yang mewajibkan sertifikasi ISPO ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah pabrik sawit yang sudah tersertifikasi ISPO masih dapat menerima hasil panen buah sawit petani dari kebun yang belum disertifikasi. Apabila mengacu ke dalam prinsip di dalam perpres tersebut tidak boleh.
“Disinilah letak persoalannya sekitar 98 persen kebun sawit petani belum punya sertifikat ISPO. Di sisi lain, petani juga tidak memiliki pabrik sawit. Lalu, kemana sawit rakyat akan menjual TBS? Ini berarti Perpres ISPO secara by design menyingkirkan sawit rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Sadino mencatat ada sembilan point yang menjadi catata kritis Perpres ISPO. Pertama, proses ISPO akan lebih sulit dan isinya pasti berpotensi menjadi perdebatan hukum antar kementrian teknis. Kedua, pelaku usaha yang mendapatkan ISPO harus ada proses penilikan ulang dan harus mengacu ke Perpres. Ini berarti memunculkan ketidakpercayaan proses ISPO sebelumnya.
Ketiga, perusahaan perkebunan dan pekebun diwajibkan untuk ISPO. Tetapi, masalahnya hak atas tanah sulit diperoleh. Lalu bagaimana diwajibkan kalau hak atas tanah belum ada. Point keempat adalah keterlibatan masing-masing kementrian tidak mudah untuk menyelesaikan karut marut lahan perkebunan yang diklaim sebagai kawasan hutan. Lalu bagaimana perpres bisa dijalankan
Kelima, terdapat kejanggalan dalam penyusunan perpres. Sebagai contoh, Perpres ISPO menggunakan konsiderans langsung kepada UUD 1945, Peraturan Peralihan dan pemenuhan regulasi lainnya yang diatur dalam Keputusan Menteri. Apalagi, dibatasi waktu satu bulan. Selain itu, Perpres ditandatangani dalam kondisi pandemi Corona.
Keenam, dampak Perpres ISPO bagi petani bukannya membantu sebaliknya malahan dapat menambah beban mereka.
Ketujuh, apakah Perpres ini memberikan insentif bagi industry termasuk di dalamnya pelaku usaha perkebunan, petani dan negara.
Kedelapan, lembaga sertifikasi akan kembali bekerja untuk proses penilikan baik bagi mereka yang sudah dapat sertifikat ISPO.
Terakhir, Perpres ini tentunya mengeliminasi aturan terkait ISPO yang lebih rendah, tentunya banyak hal aturan teknis yang segera disiapkan dan disesuaikan.
Sumber: Sawitindonesia.com