Lahan sawit Indonesia sudah cukup besar, luasnya bisa 16,8 juta hektare, kata Direktur Supporting Palm Oil Sustainability (SPOS)-Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Irfan Bakhtiar.

Ia pun mengajak semua menghentikan perluasan perkebunan sawit yang selama ini sudah selalu mengorbankan hutan dan sebaliknya mengutamakan intensifikasi perkebunan sawit.

Pemikiran soal  intensifikasi  perkebunan sawit ini ada kesamaan dengan yang disampaikan politisi Partai Hijau dari Belanda Bas Eickhout saat ditemui di Parlemen Uni Eropa, Brussels, Belgia, bersama Walhi dan Milieudefensie.

Ia melihat sudah ada perubahan kebijakan dari sisi pemerintah Indonesia, seperti moratorium izin perkebunan sawit atau moratorium izin di hutan alam dan gambut. Namun ia masih melihat fakta deforestasi untuk kepentingan sawit.

Eickhout mengatakan Uni Eropa tidak menentang 100 persen minyak sawit, tetapi jika produsen sawit masih terus melakukan ekspansi ke kawasan hutan, maka perlu dibuat bisnis versi berkelanjutannya. Itu artinya tidak ada deforestasi.

“Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang artinya manusia dan Planet Bumi dapat hidup berdampingan. Itu yang kita kejar,” ujar dia.

Uni Eropa sedang mendorong ekspansi energi baru terbarukan dan energi campuran. Mereka perlu yakin sumber-sumber energi tersebut memang benar-benar memiliki efek yang baik untuk lingkungan, namun ternyata mereka sampai pada kesimpulan minyak sawit tidak berkelanjutan sehingga tidak memenuhi kriteria energi baru terbarukan Uni Eropa.

Minyak sawit tetap diimpor ke Eropa, tetapi tidak digunakan untuk energi baru terbarukan, kata Eickhout. Sejumlah pemerintahan memang mengatakan ini bentuk larangan impor, namun dirinya menegaskan bukan, karena kenyataannya minyak sawit masih digunakan untuk produk sehari-hari seperti sampo, sabun, pasta gigi, kosmetik, makanan.

Saat ditanya pendapatnya jika Malaysia dan Indonesia mengalihkan minyak sawitnya ke India atau China, Eickhout mengatakan Uni Eropa tentu tidak bisa menjadi polisi dunia. Namun yang jelas semua negara termasuk China, Malaysia dan Indonesia, sudah menandatangani Paris Agreement dan berjanji mengatasi dampak perubahan iklim.

Ia mengaku tidak khawatir dengan ancaman Indonesia maupun Malaysia jika membawa aturan terkait energi baru terbarukan Uni Eropa yang mengaitkan minyak sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan serta mengenakan bea masuk antisubsidi 8-18 persen terhadap produk biodiesel asal Indonesia maupun Malaysia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mengingat apa yang sedang diupayakannya sebagai bentuk komitmen pada Paris Agreement.

Sawit untuk transportasi?

Direktur Komunikasi dan Kampanye Transport and Environment (T&E) Nico Muzi saat ditemui di Brussels mengatakan angkutan menjadi penyebab persoalan iklim terbesar Eropa. Karena itu perlu aksi yang cepat dan kuat untuk memiliki sistem mobilitas dengan nol emisi.

Data T&E untuk perbandingan emisi gas rumah kaca (GRK) per sektor di Eropa pada 2017 menunjukkan transportasi berada di urutan pertama mencapai 1.243 Metrik Ton (Mt), diikuti industri mencapai 1.118 Mt, lalu listrik dan pemanas mencapai 1.020 Mt, bangunan mencapai 663 Mt, selanjutnya pertanian mencapai 432 Mt, terakhir sampah atau limbah mencapai 136 Mt.

Ini menjadi alasan Eropa mencari sumber energi baru terbarukan untuk transportasi mereka, dan berdasarkan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED I) hingga 2020 ditetapkan target penggunaan biofuel mencapai 10 persen, yang berasal dari tanaman pangan, listrik baru terbarukan, sampah dan residu.

Sedangkan presentase perbandingan konsumsi bahan bakar nabati Eropa mencapai 10,9 juta ton setara minyak (Mtoe) atau 81 persen dan bioetanol 2,6 Mtoe atau 19 persen.

T&E mendata, emisi langsung dari sawit memang sedikit lebih rendah jika dibanding biji bunga matahari, rapeseed dan kedelai. Namun untuk emisi penggunaan lahan untuk sawit melesat tinggi mencapai lebih dari 250 gCO2eq/MJ dalam satu gigaton biodesel meninggalkan yang lain berdasarkan perhitungan Global Biosphere Management Model (Globiom), diikuti kedelai di angka kurang dari 150 gCO2eq/MJ, rapeseed dan terakhir biji bunga matahari yang berada di bawah kedelai namun di atas 100 gCO2eq/MJ.

Dalam presentasinya T&E bahkan menyebut penggunaan biodiesel  justru lebih buruk jika melihat prakiraan GLobiom untuk perbandingan emisi yang dihasilkan dari penggunaan diesel fosil dengan generasi pertama biodiesel. Perhitungannya emisinya dari 1x diesel fosil sama dengan 1,2x rapeseed, 2x kedelai, 3x sawit.

Kebun sawit di hutan

Dalam sesi Pojok Iklim yang sama yang dilaksanakan KLHK, Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Menteri Luar Negeri Ina Hagniningtyas Krisnamurthi mengatakan diplomasi sawit sulit dilakukan, perlu ada perbaikan di dalam negeri sehingga dapat menjadi bukti bagus untuk berbicara di kancah internasional.

“Harapan kami, kalau kami berbicara tentang sawit di luar sana dapat menyampaikannya dengan senyum, karena memang benar-benar ini membawa kesejahteraan pada masyarakat,” ujar dia.

Ia tidak mengerti apa yang salah karena pelaksanaan produksi sawit seharusnya sudah berpegang pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). “Jadi penyelesaiannya hanya ada di dalam negeri”.

Apa yang disampaikan Ina memang sebuah persoalan yang perlu dipecahkan bersama. Karena jika mengikuti laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada  Februari 2019 atas Perizinan, Sertifikasi dan implementasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan serta Kesesuaian dengan Kebijakan dan Ketentuan Internasional, jelas penyelesaian secepatnya lebih baik ketimbang ngotot memperdebatkannya.

Dalam laporan tersebut disebutkan berdasarkan penafsiran citra satelit resolusi tinggi yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada enam provinsi yang diuji petik menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat kebun sawit di dalam kawasan hutan secara tidak sah seluas 2.749.453 hektare (ha) atau 19,21 persen dari total kebun kelapa sawit di Indonesia.

BPK menemukan kebun sawit ilegal seluas 289.875 ha di beberapa kawasan hutan Sumatera Utara, di antaranya di hutan konservasi seluas 8.869 ha, di hutan lindung 21.379 ha, di hutan produksi terbatas 45,133 ha, di hutan produksi 170.243 ha, di hutan produksi konservasi 44.251 ha.

Sedangkan di Riau ditemukan seluas 1.398.859 ha, di antaranya di hutan konservasi seluas 75.989 ha, di hutan lindung 64.442 ha, di hutan produksi terbatas 325.225 ha, di hutan produksi 392.386 ha, di hutan produksi konversi 540.817 ha.

Untuk di Sumatera Selatan BPK menemukan kebun sawit ilegal seluas 149.607 ha, di antaranya ada di hutan konservasi seluas 12.942 ha, di hutan lindung 4.072 ha, di hutan produksi terbatas 26.406 ha, di hutan produksi 73.891 ha, di hutan produksi konversi 32.295 ha.

Sementera di Kalimantan Barat ditemukan total 66.961 ha kebun sawit ilegal, di antaranya di hutan konservasi 916 ha, di hutan lindung 3.777 ha, di hutan produksi terbatqas 3.855 ha, di hutan produksi 36.022 ha, di hutan produksi konversi 22.391 ha.

Lalu BPK menemukan kebun sawit ilegal dengan total 839.096 ha di Kalimatan Tengah, di antaranya ada di hutan konservasi 11.143 ha, di hutan lindung 20.437 ha, di hutan produksi terbatas 61.973 ha, di hutan produksi 278.380 ha, di hutan produksi konversi 367.164 ha.

Sedangkan di Papua Barat ditemukan kebun sawit ilegal dengan total luas 5.056 ha, di antaranya di hutan konservasi 257 ha, di hutan produksi terbatas 1.500 ha, di hutan produksi 262 ha, di hutan produksi konservasi 3.037 ha.

Sedangkan dari hasil pemeriksaan fisik dan konfirmasi secara uji petik atas lokasi kebun sawit di dalam kawasan hutan menunjukkan permasalahan yang sama dengan penafsiran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan ditemukan 16 perusahaan kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara ilegal di enam provinsi. Dari pemeriksaan fisik tersebut ditemukan satu perusahaan beroperasi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Sementara dari hasil pemeriksaan dokumen secara uji petik atas lokasi kebun sawit di dalam kawasan hutan, BPK menemukan 11 perusahaan beroperasi secara tidak sah di enam provinsi. Dan ada delapan di antaranya beroperasi di kawasan hutan lindung.

Hasil konfirmasi kepada para pihak terkait kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan menunjukkan peta kerja, peta kebun, peta izin usaha perkebunan (IUP) belum tersedia. Selain itu, pengawasan belum dilakukan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten.

Upaya penyelesaian

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan pemerintah sudah melakukan evaluasi terkait temuan-temuan tersebut termasuk melakukan pengecekan berapa perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan, termasuk mencari tahu luasan tutupan hutan yang masih bagus.

Selain berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian, dirinya juga melakukannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pemerintah sebenarnya belum mau memasukkan persoalan penggunaan kawasan hutan secara ilegal tersebut, tetapi sedang menindaklanjuti agar penyelesaiannya produktif untuk semua, kata dia. Jika memang kawasan hutan tersebut memang untuk rakyat maka akan diserahkan pengelolaannya untuk mereka.

Sedangkan penanganan untuk pihak swasta melakukan aktivitas secara ilegal di kawasan hutan masih dikonsultasikan bersama termasuk ke KPK, Ia memastikan pemerintah menggunakan hukum dan keadilan.

Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Kehati Ismid Hadad mengatakan jika ingin menyelesaikan persoalan sawit di dalam hutan, maka aspek ekonomi, sosial dan ekologi harus seimbang, sebab hutan selalu dikalahkan dibanding kepentingan ekonomi.

Maka kunci penyelesaiannya hanya ada di regulator, yakni adanya keberpihakan pada ekologi dan sosial, tidak sekedar menyerahkan ke ekonomi pasar.

 

Sumber: Antaranews.com