Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa investasi di bidang industri hilir (downstream) sawit nasional masih sangat menarik. Alasannya, ketersediaan bahan baku industri tersebut yang berupa minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) saat ini produksinya begitu melimpah. Pemerintah juga membuka lebar pasar domestik untuk produk hilir sawit dengan menerapkan program biodiesel 20% (B20), B30, dan nantinya B100. Insentif fiskal bagi pelaku usaha di industri tersebut juga telah disiapkan pemerintah, seperti tax allowance dan tax holiday.

Dirjen Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, investasi di sektor hilir pengolahan sawit masih menarik dan memiliki potensi besar. Dengan proyeksi produksi CPO nasional pada 2020 bisa mencapai 55 juta ton maka hal itu akan menopang tumbuhnya minat investasi pengolahan CPO. “Bahkan, Indonesia bisa menjadi Arab Saudi-nya bahan bakar nabati (BBN/biofitel). Kebutuhan pangan domestik juga meningkat terus, ingat hukum Malthus (teori kependudukan Robert Malthus). Jadi, investasi hilir sawit masih sangat menarik,” jelas Rochim saat dihubungi dari Jakarta, Senin (24/6).

Saat ini, kata dia, industri pengolahan CPO di Indonesia telah menghasilkan 158 jenis produk turunan, mulai dari produk untuk pangan, bahan kimia, pakan, hingga BBN. Kebijakan penggunaan bahan bakar B30 dijadwalkan berlaku mulai 2020, ini akan memacu penggunaan 9 juta ton biodiesel. Malaysia juga menerapkan kebijakan serupa dengan BlO-nya. Industri hilir juga menghasilkan produk yang indispensable atau semuanya bermanfaat dan dapat digunakan oleh manusia. Karena itu, investasi di sektor hilir sawit tidak akan mengalami stagnasi pasar. “Kebijakan B30 diyakini akan menjadigame changer perkelapasawitan global. Apalagi, jika disusul dengan kebijakan B5 di negara lain, khususnya BIO di Malaysia. Kebutuhan produk hilir sawit dunia akan semakin meningkat,” kata Rochim.

Di sisi lain, kata Rochim, saat ini, mengoperasikan pabrik hilir sawit di Indonesia adalah pilihan yang paling efisien dibandingkan negara lain karena adanya faktor pendukung daya saing yang kuat dibandingkan jika memilih negara lain sebagai lokasi investasi industri hilir. Penyebabnya, pasokan bahan baku yang lebih banyak dan bersertifikat sustainable (memenuhi prinsip keberlanjutan lestari). “Ditambah adanya insentif berupa tax allowance dan tax holiday yang disiapkan untuk investasi industri hilir. Di sisi lain, telah tersedianya kawasan industri modern di luar Pulau Jawa yang juga adalah sentra produksi sawit,” kata Rochim.

Menurut dia, produk yang paling menarik minat investasi hilir sawit terutama adalah yang menghasilkan produk pangan, seperti minyak goreng, lemak padatan pangan, dan fito-farmaka. Selain itu, produk oleokimia seperti personal wash atau personal care, biolubricant, dan biosurfactant. “Yang paling menarik lainnya adalah bioenergi (biodiesel FAME dan biohi-drokarbon),” ujar Rochim.

Head Plantation Upstream Indonesia Minamas Plantation Shamsuddin Muhammad mengatakan, ke depan, Minamas fokus memperkuat investasi hilir. Langkah itu telah dimulai dengan masuknya Minamas di industri minyak goreng kemasan di Kalimantan Selatan. Untuk tahun ini, Minamas memang belum ada rencana investasi lagi, namun ke depan Minamas tidak ingin terpaku di hulu (upstream). “Ke depan, kemungkinan lebih berinvestasi di downstream untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih. Dari segi dukungan ketersediaan bahan baku, tentu mencukupi untuk kebutuhan rencana itu,” kata Shamsuddin saat halalbihalal bersama Minamas, pekan lalu.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono menambahkan, investasi di sektor hilir (downstream) sawit memang sangat prospektif, apalagi pemerintah juga menerapkan kebijakan hilirisasi. Beberapa sektor yang prospektif adalah industri minyak goreng dan oleokimia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, tentunya kebutuhan minyak goreng akan meningkat. Industri bio-fuel juga prospektif. “Untuk itu, yang diperlukan bagi dunia usaha tentunya adalah adanya kemudahan, kepastiaan hukum, dan tentunya insentif. Misalnya, kemudahan perizinan dan pemasaran,” kata Mukti.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga sebelumnya mengatakan, utilisasi industri hilir berbasis minyak sawit di dalam negeri saat ini terus anjlok, yakni dari sebelumnya berkisar 60-70% terpangkas menjadi 15-20%. Kondisi itu kontras dengan yang dialami industri hilir minyak sawit di Malaysia. “Industri di Malaysia bahkan saat ini sudah overtime hingga 20%. Industri hilir kita saat ini hanya bisa menikmati pasar kalau (pasar internasional) sudah mentok dengan Malaysia,” ungkap Sahat Sinaga.

Ekspor sawit Januari-Juni

Sementara itu, Tim Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) memproyeksikan ekspor CPO dan produk hilir sepanjang Januari-Juni 2019 bisa mencapai 17,60 juta ton dengan produk hilir lebih mendominasi. Sedangkan untuk Juli-Desember 2019, ekspor berpeluang mencapai 17,82 juta ton, baik untuk CPO maupun produk hilirnya. Dengan demikian, total ekspor minyak sawit nasional sampai akhir 2019 bisa mencapai 35,41 juta ton, yakni 6,27 juta ton untuk CPO dan 29,16 juta ton untuk turunannya.

Peneliti senior PPKS Medan Hasan Hasril Siregar mengatakan, pada umumnya, perdagangan minyak sawit masih melemah, sehingga stok masih tinggi. Per Juni 2019, stok diprediksi mencapai 2,55 juta ton dan pada akhir 2019 menjadi 2,12 juta ton. Dengan begitu, upaya program B30 oleh pemerintah diharapkan mampu mendongkrak konsumsi domestik. “Untuk harga, kemungkinan ada perbaikan pada semester kedua, meski tidak signifikan atau hanya membaik landai. Kecuali, pemerintah sangat sungguh-sungguh mempercepat B30, B50, bahkan B100. Apalagi dengan laporan kinerja ekspor yang mengkhawatirkan. Perlu lebih membela produk dalam negeri,” kata Hasril.

Apabila mau objektif, imbuh dia, meski beberapa tahun terakhir ini tertekan devisa, sawitlah yang masih mengamankan neraca perdagangan. “Mestinya, perdagangan sawit difokuskan pada peningkatan ekspor pada negara prospektif dan perlu sebanyak mungkin memakai produk buatan dalam negeri. Termasuk, penggunaan untuk pembangkit PLN,” kata Hasril.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia