Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) diharapkan menjadi jawaban atas isu negatif sawit. Pemangku kepentingan  berupaya memperkuat prinsip dan kriteria di dalam ISPO.

 

“Penerapan ISPO sudah menjadi komitmen pemangku kepentingan industri sawit. ISPO diharapkan dapat memberikan solusi dan meng-counter  isu negatif sawit di Eropa dan AS,” kata Azis Hidayat Kepala Sekretariat  Komisi  ISPO.

Dia menceritakan, pembentukan ISPO sejalan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perkebunan. “Jika dilihat dari tujuan ISPO sudah banyak yang tercapai. Terbukti dalam kurun dua tahun devisa sawit paling unggul dibanding komoditas lain,” ujar Azis dalam Seminar bertemakan ISPO dan Keberterimaan Pasar Global yang diselenggarakan Majalah SAWIT INDONESIA pada 29 Maret di Jakarta.

Namun, diakui Azis, industri sawit Indonesia belum berdaulat karena sertifikasi masih diatur sejumlah  pihak yang sebenarnya bukan produsen  sawit. “Kita sedang upayakan agar kedaulatan itu dapat terwujud,” tambahnya.

Azis menerangkan, saat ini ISPO sudah mengikuti Deklarasi Amsterdam, guna mengintegrasikan sektor industri swasta dalam produksi minyak kelapa sawit yang sustainable. Indonesia sebagai produsen CPO dunia harus melihat ini sebagai tuntutan yang serius terhadap sawit sustainable ke depan.

“Kita tidak usah membalas black campaign dengan hal yang sama, namun harus berbenah diri serta memperbaiki diri,” ujar Azis.

Menurut Azis, dengan adanya ISPO supaya industri kelapa sawit Indonesia patuh aturan.  “Dengan ISPO, industri kelapa sawit kita dapat tunjukkan sadar akan lingkungan supaya sawit sustainable dan berdaya saing,” ujar Azis.

Dia menuturkan, ISPO tidak ragu untuk melakukan perbaikan jika ada peraturan baru, prinsipnya ISPO mengikuti perkembangan zaman. “Untuk menjawab tuntutan rantai pasok, pada tahun ini Komisi ISPO akan usulkan melakukan sertifikasi suplai chain seperti RSPO. Kalau ada yang baik dari RSPO kita ambil, karena yang penting prinsipnya untuk keberlanjutan dan pada prinsipnya kita terbuka,” katanya.

Saat ini ISPO sudah memberikan pengakuan kepada 12 lembaga sertifikasi diantarnya : PT. Mutuagung Lestari, PT. Tuv Nord Indonesia, PT. Sucofindo (Persero), PT.Tuv Rheinland Indonesia, SAI Global, PT.Mutu Hijau Indonesia, PT. SGS Indonesia, PT. BSI Indonesia, PT. AJA Indonesia, Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan, Agri Mandiri Lestari dan PT. Bureau Verietas.

Sampai April 2018,  perkembangan jumlah auditor dan lembaga konsultan tercatat sudah ada 1.340 auditor, 8 lembaga konsultan dan 1 lembaga penyelenggaraan pelatihan auditor ISPO.

Aziz mengatakan standar ISPO dapat menjawab isu kerusakan hutan (deforestasi) yang dialamatkan sejumlah LSM dan negara maju. Sebab, bagi perusahaan yang lolos ISPO sudah dikatakan lahan sawitnya sudah  clear and clean dari kawasan hutan.

Mengenai  isu ketenagakerjaan juga dapat terjawab dengan ISPO, sebagai contoh ada perusahaan yang  masih yang membayar upah buruh di bawah Upah Minimum Propinsi (UMP), maka tidak dinyatakan lolos untuk menerima sertifikat ISPO. “Jika perusahaan sawit menerapkan ISPO, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan sustainable,” ujar Azis.

Hingga kini tercatat sebanyak 613 perusahaan sawit yang telah mendaftar untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. “Sementara total jumlah perusahaan sawit di Indonesia sekitar 1.200,  maka sudah 50% perusahaan yang ikut ISPO,” bebernya.

Dia menyebutkan, dari 613 laporan hasil audit yang diterima Komisi ISPO, ada 346 perusahaan sudah tersertifikasi ISPO. Dari jumlah  itu, luas perkebunan sawit 2.041.548 hektare dengan produksi  CPO sebesar 8.757.839 ton bersertifikat ISPO.

 

Sumber: Sawitindonesia.com