Ekspor minyak sawit dan produk turunannya pada Januari 2019 mencapai 3,25 juta ton, atau meningkat sekitar 4% dari bulan sebelumnya 3,13 juta ton. Kenaikan tersebut dipicu oleh membaiknya permintaan minyak sawit dari sejumlah negara tujuan ekspor, terutama Afrika, Bangladesh, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Dalam catatan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit (minyak sawit mentah\’crude palm oil/CPO dan turunannya, oleokimia, dan biodiesel) pada Januari 2019 naik sekitar 4% menj adi 3,25 juta ton dari Desember 2018 yang tercatat 3,13 juta ton. Volume ekspor CPO serta PKO dan turunannya saja (tidak termasuk oleokimia dan biodiesel) mencapai 3,10 juta ton atau naik sekitar 5% dari Desember 2018 yang sebesar 2,95 juta ton.

Ekspor minyak sawit Indonesia ke Afrika melonjak hingga 74%, yakni dari 181.480 ton pada Desember 2018 menjadi 315.910 ton pada Januari. Pertumbuhan ekspor tersebut diikuti oleh Bangladesh yang naik 43%, AS naik 26%, dan ke negara-negara Timur Tengah meningkat 13%. Bahkan, ekspor minyak sawit Indonesia ke India naik 9%, meski pada awal 2019 India memangkas bea masuk (BM) impor atas minyak sawit dari Malaysia, untuk CPO yang semula dikenai BM sebesar 44% menjadi 40% dan untuk refined palm oilmenjadi 45% dari sebelumnya 54%.

Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, mengatakan, sejalan dengan peningkatan penyerapan di dalam negeri, pada Januari 2019 ekspor minyak sawit nasional juga meningkat. Pada Januari 2019, ekspor CPO tercatat sekitar 746.060 ton atau sekitar 23% dari total volume ekspor yang sebesar 3,25 juta ton. Sisanya 77% merupakan produk turunan atau olahan dari CPO. “Geliat pasar global ini terutama didukung oleh permintaan dari beberapa pasar nontradisional yang meningkat cukup signifikan,” kata Mukti dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (28/2).

Mukti menuturkan, perluasan mandatori biodiesel 20% (B20) ke sektor bukan PSO sejak September 2018 terus berjalan konsisten dengan tren yang cenderung meningkat. Pada awal 2019, penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai 552.000 ton atau meningkat 9% dari Desember 2018 yang mencapai 5 07 ribu ton. Pada awal 2019, pemerintah berencana melakukan uji coba pencampuran B30. Hasil uji coba B30 ini diharapkan dapat mengakselerasi program mandatori B30. Dengan demikian, penyerapan minyak sawit di dalam negeri dapat digenjot lebih tinggi.

Program mandatori biodiesel menghemat pengeluaran negara akibat impor solar. Selain itu, dapat menggenjot harga minyak sawit global akibat pengurangan pasokan ke pasar global. “Hal ini juga membuat Indonesia menjadi lebih kokoh dalam ketahanan energi dan tidak perlu lagi bergantung kepada negara tujuan ekspor yang menerapkan berbagai persyaratan yang berat,” kata Mukti.

Dalam kesempatan itu, Mukti juga menuturkan, ekspor ke Pakistan anjlok sebesar 8,50%, dari 290.260 ton di Desember 2018 menjadi 265.490 ton. Penurunan ekspor diikuti Uni Eropa yang terpangkas 4% dan ke Tiongkok tergerus 3%. “Sejak Tiongkok mulai menggalakkan dan mempromosikan program penggunaan renewable energy, impor biodiesel oleh Negeri Tirai Bambu itu menunjukkan kinerja yang konsisten. Pada Januari, impor biodiesel oleh Tiongkok dari Indonesia mencapai 10.000 ton. Angka ini sama dengan ekspor Desember 2018,” kata Mukti.

Terkait pasar India, Gapki berharap Pemerintah Indonesia mengadakan lobi yang lebih intensif dengan Pemerintah India dan membuat perjanjian dagang khusus untuk mendapatkan tarif khusus agar harga minyak sawit Indonesia tetap kompetitif.

Harga Minyak Sawit

Dalam kesempatan itu, Mukti menuturkan, dengan kinerj a ekspor dan penyerapan domestik yang meningkat itu maka stok minyak sawit nasional pada Januari 2019 mencapai 3,02 juta ton atau turun 7% dari Desember 2018 yang sebesar 3,26 juta ton. “Industri sawit mulai bangkit dari keterpurukan karena rendahnya harga CPO global yang mencapai harga rata-rata terendah sejak Agustus 2006. Harga CPO global mulai merangkak naik,” ungkap Mukti Sardjono.

Harga CPO global pada Januari 2019 bergerak di kisaran USS 520-542,50 per metrik ton dengan harga rata-rata USS 530,70 per metrik ton. Pada Desember 2018 harga CPO global bergerak di kisaran USS 470-507,50 per metrik ton dengan harga rata-rata USS 490,50 per metrik ton. “Harga yang mulai bergeliat ini dipengaruhi stok minyak sawit Indonesia dan Malaysia yang mulai menipis, ditambah permintaan pasar global yang mulai bergeliat,” kata Mukti.

Sementara itu, pemerintah menetapkan, harga referensi CPO untuk penetapan Bea Keluar (BK) periode Maret 2019 adalah USS 595,98 per metrik ton. Harga referensi tersebut menguat USS 30,58 atau 5,41% dari periode Februari 2019 yang sebesar USS 565,40 per metrik ton. Saat ini, harga referensi CPO tetap berada pada level di bawah USS 750 per metrik ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK CPO sebesar USS 0 per metrik ton untuk periode Maret 2019. 

Sumber: Suara Pembaruan