KENDARI – Jelantah, pasti banyak dari kita yang mengetahuinya. Ya, jelantah adalah minyak yang sudah pernah dipakai menggoreng makanan sebelumnya. Bagi rumah tangga di Tanah Air, menggunakan minyak goreng berulang adalah hal wajar. Bahkan, ada yang menggunakannya hingga berulang kali.

Nah, kebiasaan ini ada konsekuensinya terhadap kesehatan. Gizi pun sudah tak ada lagi di minyak itu. Limbahnya juga dikategorikan sebagai B3, alias sangat berbahaya.

Analis Kesehatan dari Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kendari Satya Darmayani kembali mengingatkan akan hal ini. Dia mengatakan, penggunaan minyak jelantah secara berulang, bisa menyebabkan kanker. Minyak jelantah cenderung bersifat karsinogenik, atau zat yang dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker.

“Penggunaan minyak jelantah berulang kali, lebih dari tiga kali, maka tidak baik bagi kesehatan. Selain itu minyak yang digunakan secara berulang sudah tidak lagi memiliki kandungan gizi,” kata Satya di Kendari, Senin (28/12).

Kepala Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kendari itu menjelaskan, minyak jelantah adalah minyak limbah yang merupakan bekas pemakaian kegiatan rumah tangga. Umumnya bisa berasal dari minyak kelapa, minyak sayur, minyak jagung, minyak samin atau minyak lainnya.

Sisa minyak pakai berulang ini masih bisa berguna. Umumnya dimanfaatkan sebagai pencuci perkakas yang berkarat. Sayangnya, kebanyakan orang justru membuang sisa minyak jelantah ke lingkungannya sendiri. Ada yang membuangnya ke saluran air atau got. Atau, langsung ke tanah di pekarangan. Padahal ada potensi Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biochemical Oxygen Demand ( BOD) yang berbahaya bagi lingkungan di minyak ini. Pun, baunya kan pasti tak sedap lagi.

“Yang tidak kalah pentingnya minyak jelantah masuk dalam kategori limbah B3 sehingga pembuangannya harus dilakukan dengan benar,” tegas Satya.

Ada memang cara yang bisa dilakukan mengantisipasi pencemaran. Salah satunya dengan mendaur ulang minyak jelantah. Lilin atau sabun, bisa menjadi alternatif daur ulang jelantah.

Sabun dari minyak jelantah baiknya digunakan untuk membersihkan keset, lantai, kamar mandi, mencuci piring, perkakas rumah atau barang-barang lain. Bukan untuk digunakan langsung untuk tubuh manusia

“Sabun dibuat dengan mencampurkan minyak atau lemak dengan alkali/basa (NaOH atau KOH) melalui proses yang disebut saponifikasi. Metode pembuatannya pun cukup mudah dengan metode Cold Press hanya membutuhkan hand blender atau pengocok telur manual,” katanya, dikutip dari Antara.

Daur ulang minyak jelantah sendiri memiliki beberapa manfaat. Dari sisi kesehatan, serapan minyak jelantah untuk produksi biodiesel bisa mengurangi alokasi penggunaan minyak jelantah yang didaur-ulang sebagai bahan masakan. Ujungnya, mengurangi konsumsi jelantah di industri makanan-minuman.

Perlu Diatur
Persoalan minyak jelantah memang bukan soal remeh. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) juga sebelumnya mengusulkan, perlu regulasi khusus mengatur bagaimana jelantah dikumpulkan. Regulasi dinilai tidak hanya memberi kepastian mekanisme pengumpulan. Juga, pada saat sama bisa menelusuri ‘hilangnya’ minyak jelantah.

Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga menyitir data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energi Asia pada 2019 soal konsumsi minyak goreng sawit dan data variannya. Konsumsi nasional mencapai 16,2 juta kilo liter (KL). Dari konsumsi ini, diperkirakan 40–60% atau sekitar 6,46 juta– 9,72 juta KL menjadi jelantah. Dari kesemuanya, 3 juta KL atau hanya 18,5% jelantah berhasil dikumpulkan.

Gimni juga menyitir, pengalaman negara-negara Eropa, bisa diterapkan. Mereka punya standar total polar material (TPM), indikator yang menunjukkan jika minyak bekas masih layak dipakai atau tidak. Gimni sendiri mengaku siap menjadi pengumpul sekaligus pembeli minyak jelantah jika ditunjuk pemerintah.

Sahat juga berharap pemerintah dapat bersikap tegas dengan tidak lagi memperbolehkan ekspor minyak jelantah ke negara-negara Eropa, untuk bahan dasar biodiesel. Yang dilakukan mereka dengan mengimpor jelantah dari RI adalah hal paradoksal. Karena mereka tidak mau membeli minyak sawit dari negeri kita.

Di sisi lain, negara sebenarnya punya perhatian besar terhadap hal ini. Jelang akhir tahun lalu.

Pedagang menata minyak curah dagangannya di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (8/10/2019). ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pernah menyinggung hal ini.  Dia berharap mulai Januari 2020 tidak ada lagi distribusi minyak goreng curah. Salah satunya adalah melalui program pengalihan minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan. Sejatinya, program ini telah dilakukan sejak 2014 melalui penerbitan kebijakan minyak goreng kemasan yang mulai diberlakukan pada 1 April 2017.

Perbedaan minyak goreng curah dengan minyak goreng kemasan utamanya pada penyaringannya. Minyak goreng curah mengalami satu kali penyaringan, sedangkan minyak goreng kemasan mengalami dua kali penyaringan. Minyak goreng curah cenderung terpapar oksigen dan cahaya yang lebih besar dibanding minyak kemasan.

Berdasarkan persyaratan SNI, minyak goreng curah cenderung tidak memenuhi pada satu kriteria, yaitu syarat bilangan peroksida. Dan, jelantah yang didapat dari minyak goreng curah, tentu lebih berpotensi berbahaya daripada minyak goreng kemasan.  (Rikando Somba)