JAKARTA – Pemerintah akhirnya menyederhanakan titik tujuan penyaluran bahan baku B20, yakni FAME, dari badan usaha bahan bakar nabati kepada PT Pertamina menjadi 10 titik dari 86 titik.
Direktur Jenderal energi baru terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, langkah tersebut merupakan upaya untuk menyederhanakan rantai pasok penyaluran FAME agar implementasi B20 dapat berjalan optimal.
“Kesepakatan terakhir kemarin, Pertamina akan kurangi jumlah tujuan penyaluran FAME dari 86 titik jadi hanya 10 titik,” ujar Rida di Kantor Ditjen EBTKE, Jakarta, Jumat (26/10). Rencananya 10 titik yang akan menjadi pusat penyaluran FAME terdiri atas enam kilang, yakni RU 11 Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, RU VII Kasim, dan empat terminal bahan bakar minyak (TBBM), yakni TBBM Pulau Laut, TBBM Tuban, TBBM Sambas, dan TBBM Medan.
Nantinya, biodiesel yang sudah dicampur di 10 titik tersebut akan didistribusikan oleh Pertamina ke SPBU-SPBU miliknya.
Dengan demikian, BU BBN tak perlu lagi memasok ke 86 fasilitas blending Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Produsen FAME kebanyakan di Sumatra harus pasok ke seluruh nusantara, apalagi ke wilayah Timur, kebutuhannya kecil tapi tantangan alamnya besar, wara-wirinya jauh. Lebih efisien dan efektif keputusan rekonfigurasi ulang,” katanya.
Sedangkan penyaluran FAME ke badan usaha BBM lainnya, imbuhnya, tak mengalami kendala lantaran titik penyaluran tak sebanyak Pertamina. Dia mengakui implementasi perluasan B20 belum optimal, tetapi dia mengklaim penyaluran FAME kepada badan usaha BBM saat ini mulai membaik.
Salah satu penyebab implementasi belum optimal adalah kendala dalam pengangkutan logistik.
Kendala pengangkutan logistik tak hanya dari sisi tersebarnya titik penyaluran, tetapi pasokan seringkali mengalami keterlambatan lantaran harus mengantre di pelabuhan. Pemerintah sedang mencari solusi agar angkutan FAME bisa diprioritaskan, seperti halnya angkutan sembako dan BBM.
Di sisi lain, tangki penyimpanan FAME di beberapa titik fasilitas blending Pertamina belum siap. Sehingga perlu disediakan floating storage (fasilitas penyimpanan terapung) FAME yang rencananya akan disediakan oleh BU BBN.
Rida mengatakan, ketiga hal yang ditengarai masih menghambat lancarnya implementasi B20 akan direkonfigurasi dan efektif berjalan paling lambat 1 Januari 2019.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Produsen, Biofuel Indonesia (Aprobi) M.P. Tumanggor mengungkapkan, penyaluran FAME seringkali mengalami keterlambatan lantaran harus mengantre di pelabuhan.
Pihaknya menginginkan agar hal ini bisa dicarikan solusinya.
“Jangan jadi kapal urutan ketiga dia, harus sama lah perlakukan dengan BBM. Kalau macet 3 hari, sampai terjadi salurkan BO kan repot,” katanya.
Sementara itu, selama periode Januari-September 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi serapan bahan bakar nabati jenis biodiesel (FAME) pada B20 mencapai 2,06 juta kilo liter.
Adapun serapan sampai 24 Oktober 2018, penyerapan mencapai 2,42 juta kilo liter.
Realisasi tersebut baru mencapai sekitar 62% dari target sampai akhir tahun, yakni 3,9 juta kiloliter.
Rida sempat menyebutkan terdapat potensi sanksi berupa denda ke sejumlah badan usaha karena belum mengimplementasikan B20.
Potensi denda itu senilai Rp270 miliar, dari beberapa Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Nabati. Namun hal tersebut saat ini masih diverifikasi lebih lanjut.
Sumber: Bisnis Indonesia