Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta agar Kementerian Keuangan menerbitkan peraturan menteri tentang pembebasan pajak pertambahan nilai atau PPN 10% terhadap komoditas perkebunan.

Penerbitan peraturan menteri tersebut diharapkan bisa menjadi alternatif sambil menanti terbitnya peraturan pemerintah yang melonggarkan atau menghapuskan pembebanan PPN 10% atas komoditas yang telah diajukan untuk dibebaskan pembayaran PPN. Komoditas itu adalah biji kakao, karet, kopi, dan teh.

“Altematif lain sambil menunggu terbitnya PP, Ibu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan [PMK] tentang Pembebasan PPN 10% bagi komoditas perkebunan yang diusulkan Dirjen Perkebunan hasil rapat 13 Mei 2019 di Ditjen Perkebunan [Kementerian Pertanian],” ujar Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani seperti dikutip dari salinan surat yang ditujukan kepada Sri Mulyani, Senin (27/5).

Di samping mengajukan penerbitan PMK, Kadin juga mengusulkan agar revisi PP No. 81/2015 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai bisa dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan harapan revisi bisa diselesaikan dalam waktu relatif pendek.

Salah satu poin yang disoroti Kadin adalah bahwa pengenaan PPN tersebut menekan kinerja sejumlah komoditas seperti kakao dan teh.

Sebagai gambaran, industri pengolahan kakao -saat ini berjumlah 20 pabrik dengan kapasitas terpasang 800.000 ton per tahun. Namun, kekurangan pasokan bahan baku menyebabkan hanya 10 pabrik yang bisa beroperasi dengan kapasitas 400.000 ton.

Terkait dengan permintaan penerbitan PMK itu, Sri Mulyani menyebutkan bahwa pihaknya belum mengetahui terkait dengan pengajuan tersebut.

Penqhapusan PPN 10% dapat meningkatkan kinerja ekspor biji kakao, kopi, karet, dan teh.

“Saya belum update mengenai isu itu. Nanti saya lihat ya,” ujarnya seusai menghadiri rapat Bantuan Pangan Non-Tunai di Kementerian Sosial, Senin (27/5).

Surat Kadin tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat usulan pembebasan PPN yang digelar pada Senin (15/4).

Rapat itu dipimpin oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian Dedi Junaedi dan diikuti 70 peserta dari berbagai instansi seperti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan; Biro Hukum, Kementerian Pertanian; eselon II lingkup Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, dan perwakilan dari dewan komoditas perkebunan serta asosiasi terkait lainnya.

Dedi mengatakan bahwa rapat tersebut bertujuan membahas jenis dan batasan barang hasil perkebunan sebagai implikasi perpajakan.

Hal ini terkait dengan putusan Mahkamah Agung No. 70P/HUM/2013 yang menganulir Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

KINERJA EKSPOR

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komite Tetap ICT Agribisnis Kadin Andi B. Sirang menyebutkan peniadaan PPN 10% ini menjadi penting demi meningkatkan kinerja ekspor keempat komoditas yang diajukan.

Pasalnya, keberadaan PPN 10% yang menjadi salah satu biaya menjadikan komoditas Indonesia tersebut kalah bersaing dengan harga komoditas yang sama dari negara lain.

“Ide dasarnya adalah mempercepat proses ekspor komoditas unggulan di Indonesia. Dengan demikian, maka kita bisa memperpendek gap neraca perdagangan kita antara ekspor dan impor,” katanya ketika dihubungi Bisnis.

Namun, dia mengakui belum memiliki prediksi pasti seberapa besar relaksasi pajak ini bisa mengangkat kinerja ekspor Indonesia.

Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menyambut baik segala usaha yang diupayakan pemerintah untuk menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% yang pada komoditas perkebunan.

ANGIN SEGAR

Ketua Umum Askindo Arie Nauvel mengungkapkan jika penghapusan PPN ini terealisasi, tentu dapat menjadi angin segar bagi komoditas perkebunan, terutama industri kakao dalam negeri yang saat ini masih tergantung dengan biji kakao impor.

“Saat ini, kapasitas terpasang pengolahan kakao antara 750.000 ton sampai 800.000 ton, sementara produksi nasional sekitar 210.000 ton dan impor lebih dari 190.000 ton,” ungkap Arie saat dihubungi Bisnis, Senin (27/5).

Dengan akumulasi produksi nasional dan impor kakao sebesar 400.000 ton, Arie mengungkapkan jumlah tersebut baru mendorong 55% dari kapasitas terpasangan pengolahan kakao.

“Dengan adanya penghapusan PPN, utilisasi pengolahan dalam negeri dapat meningkat dan berdampak siginifikan terhadap re-ekspor produk berbahan dasar cokelat,” sambung Arie.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menyatakan bahwa dipertahankannya PPN sebesar 10% kepada komoditas pangan dan perkebunan merupakan langkah yang salah karena tidak hanya berdampak pada sektor terkait, tetapi juga perekonomian secara nasional.

“Kebijakan ini saya rasa salah karena dampak ke depannya tak hanya pada sektor pertanian itu sendiri, tapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ungkap Dwi saat dihubungi Bisnis, Senin (27/5).

Dia mencatat studi mengenai dampak pengenaan pajak terhadap sektor pertanian sendiri sudah ada sejak 1990-an, pemerintah dalam hal ini bisa menerapkan pajak secara langsung maupun tidak langsung.

“Yang berdampak itu sebenarnya pajak implisit ketika harga komoditas ditekan serendah mungkin untuk proteksi industri. Dengan begitu, konsumen bisa memperolehnya [komoditas pertanian atau perkebunan] dengan harga terjangkau,” ungkapnya.

Pengenaan pajak 10% terhadap sejumlah komoditas pertanian dan perkebunan dianggap berdampak negatif terhadap pendapatan petani terutama perkebunan yang harganya dipengaruhi harga pasar dunia.

Kadin mencatat bahwa beban modal kerja yang diperlukan untuk membayar PPN 10%, dengan menggunakan data ekspor per 2014 atas keempat komoditas yakni teh, kakao, karet dan kopi mencapai sekitar Rp5,78 triliun.

Apabila dihitung dengan beban bunga dengan asumsi tingkat suku bunga sebesar 12% per tahun (di negara lain di bawah 5%), total ketidakefisienan yang harus ditanggung oleh keempat komoditas tersebut minimal mencapai Rp6,4 triliun.

Ketidakefisienan ini bisa jadi lebih besar jika cakupan analisis juga mengikutkan komoditas pertanian, perkebunan, dan kehutanan lainnya.

Sejumlah dampak nyata yang timbul, menurut Kadin, antara lain operasional industri pengolahan kakao di mana dari 20 pabrik dengan kapasitas terpasang mencapai 800.000 ton hanya 10 yang berjalan dengan kapasitas terpakai 400.000 ton akibat kekurangan bahan baku.

Selain itu, dari 239 izin pabrik teh yang telah diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hanya 10 pabrik yang beroperasi.

Di sektor karet dan kopi, penerapan PPN dinilai memperketat modal dan menyebabkan menurunnya daya saing.

Merujuk pada sejumlah kondisi ini, Kadin memberi rekomendasi dan meminta agar PPN atas keempat komoditas tersebut tidak dipungut sepenuhnya.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian menyebutkan pihaknya belum memfinalisasi daftar komoditas perkebunan yang diusulkan agar bebas dari PPN 10%.

 

Sumber: Bisnis Indonesia