JAKARTA – Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa kampanye negatif dan diskriminasi atas produk kelapa sawit di pasar internasional telah mengganggu iklim investasi industri sawit di Tanah Air. Pelaku usaha nasional di industri tersebut saat ini kesulitan mendapatkan pinjaman kredit dari bank-bank yang berbasis di Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), dan Jepang. Untuk itu, upaya menangkal isu negatif sawit di luar negeri harus dimaksimalkan.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, persaingan dagang antara produsen minyak nabati dunia terus memanas sejak munculnya minyak kelapa sawit sebagai komoditas perdagangan primadona. Hal itu mengingat minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling produktif sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dunia, selain itu sawit juga bisa dijadikan sebagai bahan dasar beragam industri, mulai dari makanan, kosmetik, hingga bioenergi.
Meskipun beberapa penelitian menyebutkan sawit sebagai minyak nabati dengan penggunaan lahan paling kecil, kata Joko Supriyono, namun isu deforestasi hingga diskriminasi terus muncul dan disusul isu lain yang menyerang sawit sebagai kampanye negatif, seperti hak asasi manusia (HAM), keanekaragaman hayati, pengelolaan lahan gambut, dan kesehatan. Beberapa isu yang terkait sawit bahkan telah menjurus ke kampanye hitam dalam perang dagang minyak nabati global dan hal itu telah memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi sawit dalam negeri. “Bank-bank dunia menjadi enggan memberikan pinjaman ke pelaku usaha sawit kita,” kata Joko di Jakarta, kemarin.
Joko Supriyono menjelaskan, saat ini terjadi fenomena baru dalam dunia investasi global yakni ada upaya menekan industri sawit dalam negeri yang mana bank-bank di dunia terutama dari Eropa dan AS menerapkan kebijakan baru dengan menolak memberikan pinjaman bagi industri yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indo-
nesia tersebut. “Semua banking chain tidak memberikan kredit kepada palm oil industry terutama European dan American banking, tidak ada yang mau memberikan kredit. Ini pelaku usaha di-pressure,” ungkap Joko Supriyono.
Selain itu, industri sawit yang selama ini mengajukan pinjaman melalui beberapa bankAsia, seperti bank Jepang, Tiongkok, dan Korea, dua tahun terakhir ini bank Jepang tidak lagi memberikan kredit ke industri sawit karena mendapatkan tekanan dari NGO (LSM) maupun efek dari kampanye negatif sawit. Pelaku usaha sawit seperti diisolasi karena mendapat tekanan dari berbagai pihak, tidak hanya soal pembiayaan, tetapi juga dari segi perdagangan. “Menurut saya kekuatan nomor satu yang harus digerakkan ya dari politik. Kami sudah tidak bisa menjual ke sembarang pembeli tanpa persyaratan ketat, tidak bisa membeli bahan baku, tidak bisa mendapatkan biaya. Seberapa besar kita bisa fight kalau nanti bank Tiongkok tidak bisa memberikan pinjaman,” tegas Joko,
Sumber: Investor Daily Indonesia