Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan akan melawan kampanye hitam minyak sawit Indonesia melalui pengawasan peredaran produk makanan. Perlawanan yang dilakukan ialah melarang pencantuman label “tanpa mengandung minyak sawit” atau palm oil free (POF). Pasalnya, POF yang tercantum dalam suatu produk pangan olahan sama dengan melakukan kampanye hitam terhadap produk sawit Indonesia
Kampanye negatif ini sudah pasti memperburuk persepsi produk olahan minyak sawit, meski belum berdampak pada menurunnya produk minyak sawit atau Crude palm oil (CPO) Indonesia. Hanya saja, masyarakat diajak untuk membangun opini seolah-olah produk makanan yang mengandung minyak sawit tak baik untuk kesehatan. Bahkan, masyarakat digiring pada satu pemahaman bahwa perkebunan sawit itu merusak lingkungan seperti kampanye sejumlah negara Eropa yang menyebut kalau ikut menggunakan minyak sawit artinya ikut mendukung perusakan hutan dan ekosistemnya.
Hal ini sejalan dengan resolusi parlemen Uni Eropa beberapa tahun lalu yang mengesahkan Report on palm oil and Deforestation of Rainforests. Mereka mendiskreditkan minyak sawit dengan menuduh pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia sebagai ladang korupsi, mengeksploitasi pekerja anak, melanggar hak azasi manusia, dan menghilangkan hak masyarakat adat.
Bahkan, Uni Eropa menuduh dan mengajak pihak-pihak lain untuk memboikot investasi sawit dan pindah ke minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai. Pertanyaan yang mengganjal ialah mengapa harus menyebut “bebas minyak sawit” pada label produk makanan yang mereka jual?
Boikot produk sawit bukan barang baru lagi. Sejak tahun 1980-an, minyak sawit sudah disebut-sebut tidak baik untuk dikonsumsi dan menyerukan masyarakat dunia beralih ke produk minyak sayur. Tidak cukup hanya isu lingkungan hidup, kandungan gizi minyak sawit pun disebut tidak aman untuk kesehatan.
Hal ini berdampak pada anjloknya konsumsi olahan sawit di Eropa. Data dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mencatat konsumsi olahan sawit, khususnya industri makanan di Eropa beberapa\’tahun terakhir hanya sekitar 3,3 juta ton, turun dari yang sebelumnya mencapai 4,3 juta ton per tahun.
Berbagai masalah
Minyak sawitk ini menjadi produk ekspor nomor satu Indonesia. Pada tahun 2017, ekspor CPO tercatat sebanyak 32,18 juta ton dan meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018. Meski menguntungkan, sawit menghadapi berbagai masalah yang cukup berat ke depan. Jika ingin minyak sawit tetap menjadi komoditas unggulan dalam waktu yang lama, isu kampanye negatif harus disikapi secara terbuka..Pemerintah dan pelaku usaha tidak perlu panik, apalagi bertindak seperti pemadam kebakaran. Perencanaan yang matang patut disusun dengan baik agar persoalan yang sama tidak terulang dan soal kampanye negatif diselesaikan secara tuntas.
Sebutlah misalnya persyaratan pencantuman sumber minyak nabati secara spesifik untuk seluruh produk makanan yang beredar di Eropa Uni Eropa (UE) mengeluarkan “EU Labelling Regulation 1169/2011” yang mempersyaratkan pencantuman sumber minyak nabati non sawit untuk seluruh produk makanan yang beredar di pasar Eropa. Persoalan ini belum tuntas penyelesaiannya dan selalu berulang. Pemerintah Indonesia seharusnya berani dan tegas mengatakan bahwa produk makanan impor dari Eropa yang beredar di Indonesia harus menggunakan minyak sawit.
Patut dipahami bahwa kontaminasi menjadi isu krusial bagi minyak sawit dan inti sawit. Jenis kontaminan yang sering dituntut untuk dianalisa pada perdagangan global minyaksawitdan intisawitadalah logam berat, polycyclic aromatic hydrocarbon(PAH), dioxin, polychlorinated biphenyls (PCB), dan residu pestisida (The Commision of the European Communities, 2006)..
Sejauh ini semua kontaminan yang disebutkan di atas tidak menjadi masalah dalam minyaksawitdan inti sawit yang berasal dari Indonesia, sepanjang proses rafinasi atau pemurnian serta kendali mutu dilakukan dengan baik.
Beberapa waktu terakhir ini minyak sawit dilanda isu kontaminan 3-monochlorpro-pandiol ester (3-MCPD Ester) dan glycidol esters (GE), yaitu hasil penelitian di Eropa menyebutkan-bahwa minyak sawit mengandung 3-MCPD Ester dan GE yang tertinggi diantara minyak nabati lainnya, yakni masing-masing sebesar 3-7 ppm dan 3-11 ppm.
Senyawa 3-MCPD merupakan hasil hidrolisis 3-MCPD ester yang memiliki efek negatif terhadap ginjal, sistem saraf pusat, dan sistem reproduksi pada hewan percobaan. Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC), senyawa 3-MCPD kemungkinan juga dapat menyebabkan kanker bagi manusia.
Berbagai isu keamanan pangan dibangun guna memperburuk citra minyak sawit. Pasalnya, industri minyak nabati di Eropa dan Amerika Serikat (AS) tertekan oleh CPO yang harganya lebih efisien dan turunannya banyak.
CPO saat ini sudah sangat dominan dalam pangsa pasar minyak nabati dunia. Uni Eropa dan AS melindungi produknya dengan melakukan boikot atau pengetatan terhadap produk hasil olahan sawit dari Indonesia. Untuk itu, masyarakat harus bijak dalam melihat industri sawit, unsur dan zat gizi yang terkandung dalam minyak sawit membuat persaingan semakin sengit.
Lantas pertanyaannya, kapan Uni Eropa berhenti melakukan kampanye negatif? Perluasan perkebunan sawit yang pesat di negeri ini telah menjadi ancaman bagi negara-negara penghasil minyak nabati seperti kedelai, bunga matahari dan kacang tanah.
Berdasarkan catatan sawit Watch (2014), Indonesia adalah negara dengan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia, yakni mencapai 14,3 juta hektare (ha). Perusahaan sawit terus ekspansi dan dituduh telah mencaplok lahan dalam skala luas.
Pembukaan lahan untuk ekspansi sawit dengan jalan pembakaran telah menuai bencana lingkungan. Meskipun upaya pemadaman dilakukan, bahkan Presiden Jokowi dan sejumlah menteri kerap turun langsung untuk memantau pemadaman si jago merah, yang acap unjuk kekuatan setiap tahun, namun api tidak sepenuhnya berhasil dijinakkan.
Penyemprotan di permukaan hamparan hingga penyuntikan ke dalam gambut dengan air bertekanan tinggi tidak membuat asap berhenti mengepul. Tiupannya semakin menjadi-jadi karena api sudah membakar gambut yang berada di bawah permukaan sehingga sulit dipadamkan.
Bencana asap yang terus berulang kerap menelan korban jiwa. Sekedar mengingatkan pada bulan Juli 2015, bencana asap di sentra-sentra perkebunan sawit telah menelan korban 12 orang meninggal dunia, lebih dari 43 juta warga terpapar kabut asap dan 504.000 warga terkena infeksi saluran pernapasan (Sibuea, 2017). Peristiwa ini bukan lagi soal siapa yang membakar lahan, tetapi pada salah kelola sumber daya alam.
Sumber: Bisnis Indonesia