Belum lama ini Presiden Joko Widodo meneken sebuah kebijakan berkenaan dengan pengelolaan industri minyak sawit berkelanjutan. Kebijakan tersebut berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019 – 2024 (RAN KSB). Inpres berisi tentang lima mandat utama yang diinstruksikan kepada dua belas penerima mandat untuk dapat dijalankan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware mengungkapkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan masih banyak akar persoalan di industri sawit yang belum disentuh melalui kebijakan ini.
Seperti persoalan petani sawit dan konflik agraria di perkebunan sawit. Padahal untuk mewujudkan suatu perkebunan sawit yang berkelanjutan atau lestari haruslah dapat menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di dalamnya.
“Kami juga menyoroti berkenaan dengan definisi konflik agraria yang tertuang dalam Inpres. Kami melihat bahwa Inpres ini mendefinisikan konflik agraria hanya sebatas pada persoalan tanah semata, padahal konflik di dalam perkebunan sawit memiliki berbagai macam tipologi, seperti misalnya konflik kemitraan serta konflik buruh dengan perusahaan sawit. Harusnya penyelesaian konflik tersebut juga harus terjawab melalui inpres ini,” katanya dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, belum lama ini.
Sementara dikatakan Spesialis Perburuhan Sawit Watch, Zidane, Inpres yang dikeluarkan pemerintah sama sekali tidak menyentuh isu perburuhan. Persoalan mendasar buruh seperti hubungan kerja, kebebasan berserikat, pengupahan, jaminan kesehatan sama sekali tidak disebutkan dalam Inpres perkebunan sawit berkelanjutan ini.
“Koalisi Buruh Sawit sudah menyampaikan lembar fakta kondisi buruh perkebunan sawit, seharusnya lembar fakta tersebut menjadi salah satu acuan dalam melihat persoalan di perkebunan sawit,” tandas Zidane yang juga menjabat sebagai Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS).
Sumber: Infosawit.com