JAKARTA. Kewajiban wajib kemasan dalam penjualan minyak goreng mulai Januari 2020 masih terkendala. Salah satu kendalanya adalah penyediaan mesin-mesin kemasan yang saat ini dinilai masih belum mencukupi.

Walaupun begitu, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengaku telah siap mendukung kebijakan tersebut. Apalagi masih ada masa transisi dan uji coba wajib minyak goreng kemasan yang dikalakukan pemerintah sejak 1 Januari 2018 sampai 31 Desember 2019.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, untuk memenuhi kewajiban tersebut, produsen minyak goreng di Indonesia sudah mempersiapkan mesin-mesin pengemas minyak goreng.

Namun Sahat mengatakan, butuh waktu mendatangkan mesin kemasan. Menurutnya wajib kemasan minyak goreng pada saat ini hanya bisa dilaksanakan oleh produsen minyak goreng yang memesan mesin kemasan tahun lalu. “Kalau pesan mesin itu tidak bisa tiba-tiba besok ada, ada prosesnya,” ujar Sahat ke KONTAN, Selasa (27/2).

Saat ini terdapat 87 produsen minyak goreng yang eksis di Tanah Air. Namun Sahat bilang, dirinya belum memiliki data berapa banyak mesin pengemas yang dimiliki produsen minyak goreng. Dia yakin, ketika kebijakan wajib kemasan berjalan efektif, semua produsen sudah memiliki mesin kemasan.

Beban biaya distribusi

Saat ini kebutuhan minyak goreng kemasan diperkirakan mencapai 3,4 juta ton per tahun. Jumlah itu sekitar separuh dari total kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Dengan kewajiban ini maka nantinya tidak ada minyak goreng curah yang dyual di pasaran. Nantinya minyak goreng yang dijual dikemas dalam ukuran 250 mililiter dan 500 mililiter.

Selain soal mesin pengemas, Sahat bilang, memulai kebijakan wajib kemasan minyak goreng tidak mudah. Dengan wajib kemasan maka dari sisi distribusi membutuhkan biaya yang besar. Biaya distribusi besar karena untuk tahap awal, tidak semua daerah memiliki mesin kemas. Dengan kondisi itu maka minyak goreng harus diangkut ke wilayah lain yang sudah memiliki mesin pengemasan, sebelum diedarkan.

Agar biaya distribusi bisa ditekan, Sahat berharap tiap daerah memiliki mesin pengemas sendiri sehingga nantinya minyak goreng bisa dikirim dalam bentuk curah untuk dikemas langsung di daerah tujuan. “Hanya saja, sejauh ini BUMD tidak ada yang bergerak. Perusahaan harus melakukan ini sendiri, otomatis perusahaan melakukan semampunya. Padahal tidak semua perusahaan minyak goreng punya bisnis berskala besar,” tuturnya.

Sahat bilang untuk pebisnis skala menengah bawah, wajib kemasan minyak goreng sebenarnya tidak menarik. Sebab harga jualnya sudah ditetapkan pemerintah. Nantinya minyak goreng kemasan 250 ml akan dihargai maksimal Rp 3.250, sementara kemasan 500 ml akan dihargai Rp 6.000.

Dengan penentuan harga itui, menurut Sahat, keuntungan yang didapat oleh perusahaan dari penjualan termasuk kecil. Bisa jadi ada produsen minyak goreng yang menutup usahanya. “Kita lihat nanti, semoga harga minyak sawit dunia menurun,” tambahnya.

Di sisi lain industri sulit mengekspor minyak goreng lantaran harga tidak kompetitif. Pasalnya industri dikenakan pungutan ekspor US$ 20 per ton. Sementara menurutnya Indonesia bisa mengekspor minyak goreng kemasan sebanyak 600.000 – 1 juta ton dalam setahun.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemdag Tjahya Widayanti mengatakan, hingga kini belum ada perubahan terkait kebijakan wajib kemasan minyak goreng yang berlaku di 2020 nanti.

Lidya Yuniartha

 

Sumber: Harian Kontan