Industri sawit membutuhkan hubungan kemitraan perusahaan dan petani supaya daya saing dan keberlangsungan usaha sawit dapat berjalan. Saat ini, model kemitraan dapat beragam yang tidak lagi sebatas hubungan memasok buah sawit kepabrik.
“Di antara komoditas lain, pola kemitraan petani dengan perusahaan sawit menjadi contoh paling ideal. Makanya, hubungan kemitraan dalam industri merupakan keniscayaan,” jelas Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) saat menjadi salah satu pembicara dalam Dialog webinar bertemakan “Kemitraan Sinergis dan Penguatan Kelembagaan Demi Rantai Pasok Sawit yang Efisien”, yang diadakan Majah Sawit Indonesia didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), pada Jum’at (28 Agustus 2020).
Menurut Joko, kemitraan pada industri sawit sangat complicated. Supply chain (rantai pasok) tidak bisa dipisahkan dari perusahaan dan petani. “Kesolidan dari rantai pasok yang akan menentukan seberapa kuat industri sawit dan berdaya saing. Kalau ada hambatan dalam rantai pasok maka industri akan terdampak,” ujarnya.
Joko menegaskan, supply chain memang diperlukan untuk membangun industri yang kuat dan berdaya saing. Selanjutnya, ia menjelaskan bagaimana kemitraan di Industri sawit di masa mendatang? “Kedepan Kemitraan adalah keniscayaan. 45% lahan perkebunan diusahakan oleh petani khususnya petani swadaya. Perlunya revitalisasi kebun plasma. Tren kedepanya itu lahan petani akan meningkat karena perusahaan terkena regulasi moratorium (izin baru),” jelasnya.
Tidak hanya itu, lanjut Joko kebutuhan peningkatan produktivitas nasional dalam segala aspek (yield, kualitas, dan sebagainya). Pentingnya kompetitif industri sawit Indonesia di tengah persaingan global. Dan, tuntutan praktik sustainability bagi industri sawit Indonesia.
Joko Supriyono menjelaskan bahwa rantai pasok sawit tidak bisa dipisahkan antara perusahaan dan petani. Kesolidan rantai pasok yang akan menentukan seberapa kuat industri sawit dan berdaya saing. Kalau ada hambatan dalam rantai pasok maka industri akan terdampak. Sebagai contoh, di komoditi lain (karet dan kakao) tidak ada keseimbangan antara petani dan perusahaan maka berdampak kepada dayasaing dan ketahanan industri. Kemitraan inilah yang menjadikan industri sawit mampu bertahan bahkan berkembang sampai sekarang.
Berkaitan rantai pasok industri sawit, Joko mengingatkan bahwa rantai pasok seharusnya menjadi kepentingan bersama. Langkah ini perlu dilakukan sehingga industri sawit harus mampu bersaing di pasar global maka harus kuat dan berdayasaing secara global.
“Industri sawit harus mampu bersaing di pasar global maka harus kuat dan berdaya saing secara global,” tegasnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting pada sektor industri sawit bahkan tidak bisa ditawar adalah praktek sustainability bagi industri sawit indonesia. Dan, kalau bicara sustainability sebagai tuntutan global maka petani bisa tertinggal.
“Saat ini sudah bisa terlihat, jika rantai pasok terganggu dan berdampak pada bisnis. Makanya ada cerita, petani tidak bisa menjual TBS-nya, pabrik tidak bisa menjual CPO-nya karena berkaitan dengan sustainability. Kedepan tidak mudah ujian makin berat,” kata Joko, mengingatkan.
Di tengah persaingan pada industri sawit kemitraan adalah keniscayaan. Hal ini disebabkan adanya tuntutan industri sawit harus semakin kompetitif di pasar global.“Untuk itu, kemitraan petani dan perusahaan sangat ideal,” pungkas Joko.
Sebagai contoh, di komoditi lain (karet dan kakai) tidak ada keseimbangan antara petani dan perusahaan maka berdampak pada survivalnya.