KOMPAS – Minyak kelapa sawit masih bisa digunakan dalam bauran energi di Uni Eropa, setidaknya hingga 2030. Meski demikian, RI masih menghadapi tantangan, terutama terkait ekspor minyak sawit
Menghadapi tantangan itu, pemerintah, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seeara konsisten dan ilmiah perlu menanggapi kebijakan dan hasil studi Uni Eropa terkait minyak kelapa sawit, khususnya kebijakan dan studi yang dapat merugikan sektor perkebunan kelapa sawit
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menyampaikan hal itu di Jakarta, Rabu (20/6/2018). “Perpanjangan memang hingga 2030. Namun, basisnya tahun 2019,” katanya.
Artinya, lanjut Togar, pada 2019 Uni Eropa akan membuat sejumlah studi terkait deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, RI harus bisa menjawab atau menanggapi setiap hasil studi dan kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa secara konsisten dan ilmiah.
Pada 14 Juni, Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa mencapai kesepakatan politik untuk meningkatkan penggunaan Energi Terbarukan di Eropa Kesepakatan politik itu termasuk kerangka peraturan yang baru, yaitu target Energi Terbarukan yang mengikat untuk Uni Eropa, sekurang-kurangnya 32 persen pada 2030. Saat ini. porsi Energi Terbarukan 27 persen.
Sebelumnya, Resolusi Parlemen Eropa pada 4 April 2017 merekomendasikan pelarangan penggunaan minyak sawit pada bauran energi biodiesel pada 2020. Alasannya. perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyebab deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut Togar, studi-studi yang akan dilakukan Uni Eropa terkait minyak sawit dapat merugikan negara produsen sawit seperti Indonesia. Jika studi tidak ditanggapi serius dan pada 2030 Uni Eropa memberlakukan pelarangan penggunaan minyak sawit, Indonesia akan dirugikan.
Apalagi, pada 2030, produksi minyaksawitIndonesia lebih besar. Jika produksi minyaksawitbesar tetapi tidak dapat digunakan untuk bauran energi, akan merugikan RI.
“Mau dikemanakan hasil produksi minyak sawit, terutama untuk bauran energi,” ujar Togar.
Ia mengingatkan, kebijakan yang dilakukan Uni Eropa dapat ditiru negara-negara lain. Oleh karena itu, penundaan pelarangan penggunaan sawit dalam bauran energi di Uni Eropa hingga 2030 tetap menjadi tantangan bagi ekspor sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa.
Berdasarkan data Gapki, produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada 2017 sebanyak 42.04 juta ton. Adapun ekspor pada 2017 sebanyak 31,05 juta ton senilai 22.96 miliar dollar AS. Ekspor terbesar ke pasar India sebanyak 7,62 juta ton, Uni Eropa 5,02 juta ton, China 3,73 juta ton. Pakistan 2.21 juta ton. Afrika 2,28 juta ton. dan Timur Tengah 2,12 juta ton.
Kebutuhan
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, penundaan pelarangan penggunaan minyak sawit menjadi tahun 2030 tidak mengubah substansi penilaian Uni Eropa terhadap produk minyak sawit. “Berkali-kali saya sampaikan, apa parameter deforestasi,” katanya.
Enggartiasto menilai, kebutuhan lahan untuk tanaman bunga matahari atau rapeseed jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan lahan untuk perkebunan sawit dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia.
Sumber: Kompas