Pemerintah diminta membenahi tata kelola sawit terutama dari aspek perizinan dan regulasi yang merugikan pelaku usaha perkebunan. Ketidakberesan perizinan itu menyebabkan banyak terjadi persoalan tumpang tindih penggunaan lahan.
“Banyak regulasi didaerah seperti retribusi dan pungutan yang tidak sesuai dengan regulasi pemerintah pusat. Sebaiknya perlu sinkronisasi dan pengawasan di daerah, baik oleh pemerintah dan KPK,” kata Kacuk Sumarto, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Bidang Urusan Organisasi, pada dialog bertema Membenahi Tata Kelola sawit Nasional, di Jakarta, kemarin.
Kacuk meminta pemerintah pusat dapat mengharmonisasikan antara aturan di daerah supaya ada kepastian dan kejelasan bagi dunia usaha. Kacuk mengusulkan semua pihak bisa duduk bersama sebagai upaya mengatasi persoalan tersebut.
Berdasarkan data yang diolah KPK, terjadi tumpang tindih hak guna usaha (HGU) dengan izin pertambangan sebanyak 3,01 juta hektare (ha). Tumpang tindih HGU dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) seluas 534.000 ha dan tumpang tindih HGU dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) seluas 349.000 ha.
Sulistyanto, Ketua Tim Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang sawit mengatakan, persoalan ketidakjelasan regulasi di daerah maupun pungutan yang memberatkan dunia usaha akan menjadi perhatian lembaganya. Dalam temuan KPK, terjadi pengendalian izin tidak efektif (kasus tumpang tindih lahan) dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejauh ini tidak ada koordinasi antar pemerintah daerah dengan ke-menterian/lembaga dalam proses penerbitan dan perizinan.
Untuk itu, KPK membentuk sembilan koordinator wilayah (korwil) di 34 provinsi. Salahsatu tugas korwil, kata Sulistiyanto, mengawasi berbagai aturan di daerah termasuk ketidak jelasan penerapan disatu daerah.Sebagai contoh, ada peraturan gubernur di Kalimantan Tengah yang direkomendasikan agar direvisi. “Yang saya tahu, Kali -mantan Tengah menerbitkan pergub dengan tujuan pembangunan daerah. Tetapi, kami belum tahu, apakah (retribusi) dikembalikan pada pembangunan daerah atau tidak,” ujarnya.
Menurutnya, pelaku usaha bisa juga memberikan laporan terkait ketidakpastian dalam sebuah regulasi daerah. “Silahkan laporkan kepada kami kalau ada ketidakjelasan (aturan) di daerah,” ujarnya.
Salah satu rekomendasi KPK adalah meminta pemerintah memperbaiki sistem perizinan. Tujuannya demi meningkatkan akuntabilitas izin usaha perke -bunan sehingga tingkat kepatuhan kewajiban keuangan, administrasi, dan lingkungan hidup usaha perkebunan mencapai 100%.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang mengatakan, pihaknya sedang mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) untuk memperbaiki tata kelola sawit. Sejauh ini jumlah perizinan yang dihimpun Ditjenbun mencapai 1.380 perizinan dengan jumlah pelaku usaha 2.121 perusahaan di 13 provinsi dan 97 kabupaten.
Ada tiga fungsi Siperibun, yaitu integrasi data dan infor -masi perizinan usaha perkebunan di skala nasional, membuat instmmen pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan, ditambah koordinasi dan informasi bagi kemen-terian/lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino meminta pemerintah memperbaiki regulasi berkaitan tata kelola niaga tandan buah segar (TBS) sawit. Jika tata kelola niaga diperbaiki, anjlok nya harga sawit ditingkat petani bisa diatasi. Sejauh ini belum ada peraturan gubernur mengakomodasikan Permentan Nomor 1/2018 mengenai Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit.
Sumber: Harian Seputar Indonesia