JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Regulasi turunan UU Cipta Kerja menjadi perhatian penuh baik perusahaan dan petani sawit terutama berkaitan bidang kehutanan. Sampai draf terakhir, substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kehutanan sangat membebani perkebunan sawit. Bahkan tidak sesuai dengan roh dan keinginan Presiden Joko Widodo di dalam UU Cipta Kerja.
“RPP di dalam Undang-Undang Cipta Kerja harus dikawal, ini masalah krusial sekali. Kalau petani concern masalah kebun sawitnya di dalam kawasan, begitupula dengan perusahaan, persoalannya sama. Ayo Bang Gulat sama-sama kita kawal. Terus kita perjuangkan sampai titik darah terakhir,” ujar Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam jumpa pers bersama media, Kamis (4 Februari 2021).
Hadir dalam jumpa pers ini antara lain Dr (c) Ir Gulat ME Manurung, MP (Ketua Umum DPP APKSINDO), Rapolo Hutabarat (Ketua Umum APOLIN), Darmono Taniwiryono ( Ketua Umum MAKSI), Suwandi (Wakil Ketua APROBI), dan Setiyono (Ketum ASPEKPIR).
Joko menjelaskan dalam draf terakhir disebutkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Maka diwajibkan mengurus izin pelepasan kawasan hutan.
“Padahal, HGU itu sudah final. Telah melewati proses panjang (pengurusannya) dan melalui clearance, masak tidak diakui. Tapi, draf terakhir RPP tetap memberlakukan sanksi jika tidak punya izin pelepasan kawasan. HGU itu kan produk pemerintah,” ungkapnya.
Draf RPP Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan, di pasal 27 disebutkan dalam hal kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di Kawasan Hutan Produksi, dilakukan kerja sama pengelolaannya antara pemohon dengan pemegang Perizinan di bidang kehutanan. Jangka waktu kerjasama selama 25 tahun sejak masa tanam.
Senada dengan GAPKI, Dr. (c) Ir Gulat ME Manurung, MP, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengatakan telah membentuk tim khusus untuk mengawal penyusunan RPP Cipta Kerja khususnya di bidang kehutanan.
“Kami bentuk tim RPP karena kami tidak paham istilah-istilah dalam pasal-pasal tersebut, supaya substansinya tidak belok dari UU Cipta kerja yang sifatnya omnibus law. Kami ingin memberikan kepastian dan kejelasan status hukum kebun sawit petani,” ujar Gulat.
Perlu dicatat, kata Gulat, APKASINDO salah satu organisasi yang mendukung UU Cipta Kerja tersebut. Tapi di revisi RPP terakhir membuat petani tidak bisa tidur.
Dengan segala keterbatasan, kami petani sawit sudah capek mengikuti proses penyusunan RPP ini, kami dibola-bola, seperti dibuat “tumbal” oleh mereka yang merancang RPP ini.
“Kemarahan petani sawit sudah tidak terbendung lagi. Banyak sekali yang tidak ada dalam UU Cipta Kerja tiba-tiba muncul di dalam RPP, di tambah-tambah yang semuanya menyusahkan petani,” ujarnya.
Ketua Apkasindo Aceh, Sofyan Abdullah, heran dengan kisruh RPP UU Cipta Kerja ini. Sepertinya petani itu ibarat anak tiri yang selalu berbakti namun tidak pernah diperhatikan Bapaknya. Terutama dalam hal kawasan hutan.
“Siapa yang memperhatikan kami petani? Harusnya Kementerian Pertanian berada di garda terdepan perihal nasib petani sawit. Kami belum pernah mendengar pembelaan dari Dirjen Perkebunan, Direktur Tanaman Tahunan, Kasubdit Sawit, semuanya pada diam. Kami berjuang sendiri harusnya mereka mengajak bicara dan mencarikan solusinya,” ujar Sofyan melalui sambungan telepon kepada Sawit Indonesia (4/2).
Gulat menguraikan bahwa draf RPP 20 kami sudah bisa lega sedikit. Meskipun masih ada beberapa yang harus ditinjau. Namun masalah kembali muncul di Draft RPP 21, kalimat dalam pasal RPP (draf terakhir) bahwa bisa dilakukan pelepasan dari kawasan hutan jika Petani tersebut sudah menguasai lahan tersebut selama 20 tahun berturut-turut. Ini tidak ada dalam UUCK, muncul tiba-tiba.
“Di UUCK hanya disebut telah mengelola minimum selama 5 tahun, kok muncul pula istilah menguasai minimum 20 tahun dalam draf RPP revisi ke 21. Ini UUCK bertujuan menyelesaikan masalah omnibus law, bukan memunculkan masalah di RPP,” kata Gulat.
Gulat menerangkan, “Kami mencoba bertanya ke pakar hukum, apa makna perbedaannya, ternyata istilah menguasain akan menjebak kami petani sawit. Mereka perancang RPP bisa saja menganggap kami petani ini bodoh. Tapi masih banyak pakar-pakar hukum kehutanan, akademisi yang sayang kepada kami, sehingga kami bisa memahami istilah-istilah yang susah kami mengerti di RPP tersebut.”
Dikatakan Gulat, ada perbedaan definisi antara menguasai dan mengusahakan seperti dijelaskan dalam RPP Kehutanan Cipta Kerja. Di dalam draf baru, petani wajib menguasai lahan tersebut selama 20 tahun lamanya.
“Dalam pasal baru disitu ditulis menguasai minimal 20 tahun berturut-turut. Pasal ini akan menghambat percepatan PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) dan mengagalkan B30 program strategis Jokowi. Sebab, roh PSR adalah intensifikasi, bagaimana bisa intensifikasi jika kami gagal usul ikut PSR dan bagaimana pula kami bisa mendukung Program B30 jika sawit kami sudah tidak produktif,” ujarnya.
Albert Yoku, Petani sawit dan tokoh masyarakat dari Papua ketika dihubungi via telepon mengatakan bahwa lambatnya PSR salah satunya karena persoalan legalitas kebun sawit petani. Indonesia sudah 75 tahun merdeka tapi menyelesaikan masalah sepele kawasan hutan saja tidak tuntas-tuntas.
“Presiden Jokowi dan DPR RI sudah bekerja keras membuat UUCK, tapi RPP turunannya kacau balau di buat pembantu Presiden. Kementerian Kehutanan jangan merasa seperti Tuhan, serba benar,” paparnya.
Lebih lanjut Gulat menjelaskan, bila dikaitkan dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) kelapa Sawit berkelanjutan akan lebih celaka lagi kami Petani, bagaimana kami bisa ikut RAN dalam bentuk Wajib sertifikasi ISPO, jika sawit kami masih di klaim dalam kawasan hutan. ISPO itu syarat utamanya adalah non-kawasan hutan.
“Ini benar-benar mengancam nasib kami, Presiden Jokowi akan marah besar jika perancang RPP ini tetap memaksakan diri,” ujar Gulat yang juga Ketua Bravo 5 Riau Relawan Jokowi ini.
Joko Supriyono menyebutkan baik petani dan perusahaan punya perhatian sama terhadap RUU Kehutanan Cipta Kerja ini. Apalagi, ada pemberlakuan sanksi apabila tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan.
“Kita harus sama-sama berjuang. Jika tidak investasi yang telah dikeluarkan petani dan perusahaan akan sia-sia. Sudah berkebun puluhan tahun dan punya HGU. Namun, perusahaan harus mengurus pelepasan dan kena denda. Padahal, investasi yang sudah ada harusnya dijaga dan dilindungi. Seperti semangat UU Cipta Kerja,” tegas Joko.
Sumber: Sawitindonesia.com