Ekspansi lahan kedelai dan rapeseed akan berdampak besar terhadap rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati dunia. Sementara, sawit minim resiko kerusakan. Fakta ini terungkap dalam laporan berjudul Palm Oil and Biodiversity yang diterbitkan oleh International Union Conservation of Nature (IUCN), sebuah lembaga internasional bergerak di bidang konservasi sumber daya alam.
Mengapa minyak nabati di luar sawit lebih membahayakan ekosistem? Dalam studi tersebut disebutkan tanaman minyak nabati seperti kedelai, bunga matahari, dan rapeseed membutuhkan lahan sembilan kali lebih luas daripada minyak sawit, untuk mencapai produktivitas yang setara. Itu sebabnya, subtitusi sawit dengan minyak nabati lain secara signifikan meningkatkan penggunaan lahan dalam skala luas. Demi pemenuhan kebutuhan minyak makan di pasar global.
“Setengah dari populasi dunia adalah konsumen minyak sawit untuk kebutuhan makanan, jika kita melarang atau memboikotnya. Maka minyak (nabati) lain yang rakus lahan akan menggantikannya,” kata Direktur Jenderal IUCN Inger Andersen, dalam situs resmi www.iucn.org, pada 26 Juni 2018.
IUCN adalah organisasi multi stakeholder yang kredibel di dunia internasional. Adapun anggotanya terdiri dari 78 negara, 112 badan pemerintah, 735 organisasi non-pemerintah dan ribuan ahli dan ilmuwan dari 181 negara. Tujuan IUCN adalah untuk membantu komunitas di seluruh dunia dalam konservasi alam, seperti dikutip dari laman wikipedia.
Inger Andersen tidak setuju boikot dan larangan penggunaan minyak sawit yang dilakukan sejumlah negara. Menurutnya, minyak sawit perlu tetap ada namun sangat dibutuhkan tindakan bersama untuk membuat produksi minyak sawit lebih berkelanjutan, memastikan bahwa semua pihak baik pemerintah, produsen dan rantai pasok tetap melanjutkan komitmen keberlanjutan mereka.
“Apabila tanaman minyak nabati lainnya menggantikan minyak sawit, kerusakan bisa beralih kepada ekosistem di hutan tropis dan savana Amerika Selatan,” tambahnya.
Ketua Tim Penulisan Laporan dan Ketua Satuan Tugas Kelapa Sawit IUCN, Erik Meijaard memperkuat pernyataan Inger Andersen. Dalam pandangannya, apabila sawit digantikan oleh tanaman dengan kebutuhan area yang lebih luas seperti rapeseed, kedelai atau bunga matahari, maka ekosistem dan spesies alami yang berbeda dapat menderita. “Untuk menghentikan penghancuran, kita harus bekerja menuju kelapa sawit bebas deforestasi. Selanjutnya memastikan tindakan yang membatasi penggunaan minyak sawit akan memberikan konsekuensi lebih besar. Fakta ini perlu didukung oleh pemahaman ilmiah yang kuat.”
Dalam laporan dikatakan sangat dibutuhkan solusi yang fokus pada perencanaan perkebunan kelapa sawit baru yang lebih baik untuk menghindari pembukaan hutan tropis atau lahan gambut. Minyak sawit bersertifikat sejauh ini hanya sedikit lebih baik dalam hal mencegah deforestasi daripada non-sertifikasi, tetapi pendekatan ini relatif baru dan memiliki potensi untuk meningkatkan keberlanjutan. Lebih banyak upaya diperlukan untuk memastikan bahwa komitmen keberlanjutan dihormati dan pelaporan mereka transparan, tetapi masih ada permintaan minyak sawit bersertifikat.
Selain itu, pemerintah perlu membuat kebijakan melindungi hutan di negara-negara penghasil kelapa sawit serta minyak nabati lainnya. Peningkatan kesadaran konsumen di negara-negara konsumen utama seperti India, Cina, dan Indonesia, dapat meningkatkan permintaan akan minyak sawit bersertifikat.
“Ketika Anda mempertimbangkan dampak buruk minyak sawit terhadap keanekaragaman hayati dari kacamata global, sebenarnya tidak ada solusi sederhana,” kata Inger.
Laporan Palm Oil and Biodiversity disusun oleh IUCN Oil Palm Task Force (OPTF) yang terbit pada Juni 2018. IUCN membuat laporan ini sebagai tanggapan atas resolusi 2016 yang diadopsi oleh negara anggota IUCN dan Anggota non-pemerintah. Resolusi ini merupakan tindakan mitigasi dampak ekspansi sawit terhadap biodiversitas.
Melalui laporan terbaru IUCN Oil Palm Task Force diharapkan memberikan skema konstruktif untuk meningkatkan keberlanjutan dalam industri minyak sawit. Laporan ini hanya melihat dampak kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati, dan tidak mempertimbangkan dampak sosial atau ekonomi, yang akan dikaji pada 2019.
Sumber: Sawitindonesia.com