Serikat Petani Kelapa sawit (SPKS) menagih keberpihakan pemerintah kepada petani sawit. Selama ini, pemerintah banyak mengeluarkan aturan soal perkebunan sawit. Tapi, petani kecil sawit masih mengalami berbagai masalah.

KETUA Umum SPKS. Mansuetus Darto mengungkapkan, dari berbagai peraturan mengenai perkebunan sawit yang sudah diterbitkan pemerintah, pada kenyataan tak banyak berpengaruh pada kesejahteraan petani sawit. Malah petani sawit yang terus mengalami banyak masalah.

“Mulai dari masalah kebun petani dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga sawit anjlok, sampai Badan Pengelola Dana Perkebunan sawit(BPDP-KS) malah banyak mensubsidi biodiesel,” ujarnya di Jakarta.

Padahal pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah aturan.

Mulai Perpres no. 66 /20I5 tentang Pengumpulan Dana Sawit. PP no. 24/2015 tentang BPDP-KS. Permentan no. 1/2018 tentang Penetapan Harga Sawit, dan Permentan soal Indonesian Sustainable palm oil (ISPO). Baru-baru ini Presiden Jokowi juga mengeluaikan Inpres moratorium sawit.

“Dari semua aturan itu. belum ada yang menyentuh problem yang dihadapi masyarakat, terutama petani sawit. Lain gatal, lain digaruk.” kritiknya.

Darto mencontohkan, aturan BDPD-KS yang digugat SPKS ke Mahkamah Agung karena dana badan ini malah untuk subsidi biodiesel. Dana subsidi biodiesel 90 persen, berdasarkan hitungan SPKS sekitar Rp20 triliun, ternyata alokasi untuk penanaman kembali (replanting) hanya 2 persen.

Padahal, dalam UU Perkebunan tidak disebutkan mengenai penggunaan dana untuk subsidi biodiesel. “Dana untuk replanting, peningkatan sumber daya manusia, promosi sawit lebih kecil daripada dana subsidi biodiesel. Ini namanya penyelundupan hukum.” sebutnya.

Selain itu. untuk mengakses dana replanting, petani harus menempuh jalur birokrasi rumit dan panjang. Seharusnya, akses pendanaan bagi petani bisa lebih mudah dan sederhana. Belum lagi, persyaratan mengenai bukti legalitas lahan petani.

Kepala Departemen Advokasi SPKS. Marselinus Andry menambahkan, pihaknya meminta agar pemerintah berhati-hati melakukan legalisasi terhadap lahan petani kelapa sawit. Pasalnya banyak pihak yang “mengaku petani”. Padahal, berkebun sawit bukan pekerjaan utamanya atau mereka tidak tinggal di pedesaan.

“Kami juga menyoroti konflik dalam kemitraan antara perusahaan dan petani. Konflik ini tidak pernah ada perubahan dari tahun ke tahun akibat skema kemitraan yang tidak adil,” ujarnya. Saat ini petani sawit tengah mengalami keresahan dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang mengalami penurunan drastis.

Dari catatan SPKS. kondisi ini terjadi di seluruh wilayah perkebunan kelapa sawit hingga mencapai harga terendah, yaitu Rp50O-Rpl.O5O per kilogram. “Kondisi ini akibat skema pembelian TBS belum diatur secara tepat, tetapi pemerintah tidak melakukan apa-apa.” imbuh Andry.

Sebelumnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan Presiden Jokowi telah mengeluarkan Instruksi Presiden no. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perijinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Dengan adanya aturan tersebut, pemerintah menginginkan evaluasi menyeluruh atas kinerja perkebunan kelapa sawit. Pemerintah meminta adanya upaya-upaya terobosan untuk memberikan kepastian hukum lahan kebun sawit rakyat, terutama yang terlanjur berada di dalam kawasan hutan.

Selain itu. pemerintah juga ingin memberi kepastian bagi petani untuk mendapatkan alokasi 20 persen dari lahan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan besar.

 

Sumber: Rakyat Merdeka