Kendati kelapa sawit adalah komoditas strategis dengan nilai devisa tiggi bagi negara, pengembangannya bukan tanpa kendala. Disaat konsolidasi data lahan yang masih terus dilakukan, pada waktu bersamaan kendala dagang juga silih berganti muncul.

Seperti belum lama ini terkait biodiesel sawit asal Indonesia yang dianggap memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya doforestasi berdasarkan Indirect Land Use Change (ILUC) yang ditetapkan lewat kebijakan Delegated Act Uni Eropa.

Dikatakan Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI, Pradnyawati, untuk biodiesel sawit pihaknya dan tim telah melakukan beragam upaya untuk memberikan berbagai fakta bahwa pengembangan kelapa sawit tidak seperti yang ditudingkan, namun pihak Uni Eropa tetap pada keputusannya.

Maka sikap tersebut mendorong Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), pada 9 Desember 2019. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.

““Kita sering mendapatkan gangguan dari isu lingkungan, kesehatan, keberlanjutan, hingga ketenagakerjaan. Ini menjadi tantangan bagi kami, meskipun kita sudah punya sertifikat ISPO, penundaan perluasan lahan sawit hingga peremajaan perkebunan,” katanya dalam diskusi Bisnis Lounge dengan tema “Memperjuangkan Kepentingan Sawit di Pasar Global”, Selasa (17/12/2019) yang dihadiri InfoSAWIT.

Sementara itu merujuk data yang dimiliki oleh Kemendag, hambatan dagang salah satunya dilakukan oleh AS dengan memberlakukan bea masuk antidumping (BMAD) untuk biodiesel.  Sementara itu, di Prancis terdapat hambatan berupa penghapusan insentif pajak untuk biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan hampir serupa juga dilakukan oleh Rusia.

Selanjutnya di Uni Eropa, gangguan yang dialami CPO dan produk turunannya cukup beragam, a.l. tudingan subsidi terhadap biodiesel, Renewable Energy Directive (RED) II, batasan kandungan 3-monochloropropanediol (MCPD) dan glycidyl ester (GE) pada produk minyak sawit.

Sementara  Menurut anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan, sosialisasi terkait pentingnya industri kelapa sawit atau CPO bagi perekonomian nasional perlu digalakan secara masif oleh para stakeholder, termasuk media. Terlebih, pada tahun 2025, ketika penduduk dunia mencapai 8 milyar orang, diprediksi akan ada peningkatan kebutuhan Bahan Bakar Minyak Nabati (BBN).

Tutur Daniel, seluruh stakeholder terkait diharapkan mampu mensosialisasikan dan menjawab isu-isu lingkungan maupun kesehatan yang dilancarkan oleh negara-negara Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat perihal dampak penggunaan CPO.

Faktanya, kata Daniel, dibanding tanaman soybean ataupun sunflowers, CPO lebih hemat lahan, sehingga isu yang mengaitkan antara CPO dengan isu lingkungan tidak relevan lagi.

“Luas lahan minyak nabati seluruhnya 200,5 juta ha. CPO hanya 20,5 persen atau 10 persennya saja. Sawit bisa menghasilkan 4 ton per hektare, kedelai hanya 0,5 ton per hektare dan sunflowers hanya 0,7 ton per hektare-nya,” ungkapnya.

Kendati demikian, meski Indonesia menguasai 60 persen market share CPO dunia, tetapi tidak mampu mengontrol harga sawit dunia. Ia pun mempertanyakan, peranan stakeholder seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang belum optimal. “Menurut saya ini tidak masuk di akal. Ke depan harus dibenahi. BPDPKS harus berbenah, jangan hanya memungut dana saja, tapi harus gencar juga sosialisasi. Perkuat hilir juga, jangan hanya CPO,” pungkasnya.

 

Sumber: Infosawit.com