Gabungan Pengusaha sawit Indonesia (Gapki) menilai permasalahan legalitas lahan yang dimiliki petani sawit swadaya akan menjadi hambatan dalam penerapan program peremajaan (replanting) kebun sawit rakyat.”Tumpang tindih kebun sawit rakyat di lahan hutan selama ini menjadi kendala kegiatan replanting, ujar Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono.
Menurutnya, petani sawit swadaya membutuhkan adanya legalitas lahan agar bisa mengikuti program replanting yang tahun 2018 ini ditargetkan pemerintah mencapai 185.000 hektare (ha).
“Jika tak ada sertifikat, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman dari perbankan. Jika masalah legalitas lahan itu bisa diselesaikan, program replanting akan mudah dijalankan,” ucapnya.
Masalah sertifikasi lahan memang sangat dibutuhkan petani swadaya agar bisa mengikuti program peremajaan kebun sawit. Pasalnya, pihak pemerintah tidak menanggung seluruh biaya peremajaan itu.
Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo). Asmar Arsyad mengatakan, dalam penerapan program replanting sawit, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS) hanya memberikan bantuan sebesar Rp25 juta/ha.
“Padahal, dana yang dibutuhkan untuk peremajaan itu mencapai sekitar Rp6o juta/ha,” ujarnya. Untuk menutupi kekurangan biaya itu, petani bisa mengajukan pinjaman ke perbankan dengan agunan sertifikat lahan tersebut jelas.
Memang belum ada data yang jelas mengenai jumlah lahan sawit milik petani swadaya. Data terbaru yang dirilis Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, lahan sawit Indonesia yang tercatat hingga saat ini seluas 14,03 juta ha. Dari luas lahan tersebut, sekitar 5 juta ha merupakan perkebunan sawit milik rakyat.
Dari luas lahan milik rakyat itu, sebagian dari petani yang berstatus plasma telah menjalankan program peremajaan yang bekerjasama dengan pihak intinya (perusahaan perkebunan sawit swasta).
Menurut Joko Supriyono, di tahun 2017 lalu pihak Gapki telah melakukan replanting kebun petani plasma seluas 800.000 ha dan ditargetkan jumlahnya akan bertambah menjadi 900.oo ha di tahun 2019 nanti. “Kami juga akan meningkatkan kerjasama dengan petani swadaya yang produktivitasnya rendah karena bibit yang jelek,” ujarnya.
Produktivitas petani swadaya memang masih rendah. Rata-rata produktivitas kelapa sawit miliki petani hanya mencapai 3,6 ton/ha/tahun untuk Crude palm oil (CPO). Jumlah itu masih di bawah produktivitas perkebunan sawit milik pengusaha yang dapat meneapai 8 ton/ha/tahun.
Untuk meningkatkan produktivitas itu, papar Joko, peremajaan tanaman sawit yang sudah tidak produktif lagi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintan dan pihak-pihak terkait di komoditas itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menegaskan, pemerintah akan berusaha menyelesaikan permasalahan legalitas kebun sawit milik petani swadaya itu, “Program peremajaan sawit rakyat ini sangat penting. Pemerintah ingin membantu rakyat dan bukan mempersulit,” tandasnya.
Darmin mengatakan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya diyakini akan mampu menyelesaikan permasalahan soal legalitas lahan “yang dihadapi petani sawit.
“Menteri Siti Nurbaya saya kira akan bisa menyelesaikan masalah tersebut,” ujar Darmin, yang berharap kegiatan peremajaan lahan sawit bisa menghasilkan nilai tambah terhadap produktivitas lahan sawit sebesar Rp125 triliun tiap tahun.
Selain berguna untuk menunjang keberlangsungan program peremajaan sawit, penyelesaian soal legalitas lahan juga akan dapat menjadi peluru untuk mengatasi kampanye negatif soal komoditas sawit yang dilakukan negara-negara Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Salah satu isu negatif yang dikampanyekan pemerintah asing atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah tudingan komoditas sawit dibudidayakan dengan cara tidak ramah lingkungan.
Sumber: Tabloid AgroIndonesia