
Sebagian dari nasib minyak sawit akan ditentukan hanya dalam hitungan pekan ke depan. Jika parlemen Eropa menyepakati rancangan peraturan Komisi Eropa, yakni Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU renewable energy Directive (RED) II, maka ini bisa menjadi \’angin puyuh\’ bagi RI.
Sawit, bagi Indonesia, bukan komoditas biasa. Ini komoditas andalan ekspor dengan kontribusi devisa sangat besar.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), dari total produksi sebesar 47,39 juta ton, sekitar 67% atau sebesar 32,02 juta ton diekspor ke berbagai negara tujuan.
India, Uni Eropa, dan China adalah tiga negara dengan tujuan ekspor minyak sawit terbesar. Adapun, mayoritas ekspor atau sekitar 74% dilakukan dalam bentuk produk turunan, diikuti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekitar 22%, dan lain-lain-termasuk biodiesel-sebesar 4%.
Melihat pentingnya pasar ekspor bagi sawitRI, termasuk Uni Eropa, maka tak heran rancangan peraturan yang diajukan oleh Komisi Eropa sangat memukul Indonesia.
Skema RED II sesungguhnya akan menggantikan RED I yang akan selesai pada 2020.RED II merupakan kebijakan Parlemen Eropa untuk mendorong energi terbarukan dari 2020-2030.
Melalui skema ini, Uni Eropa wajib memenuhi 32% total kebutuhan energi dari Energi Terbarukanpada 2030.
Adapun, minyak sawit dinilai tidak sustainable sebagai bahan baku biodiesel. Oleh karena itu, penggunaan untuk energi pun akan dibatasi.
Keputusan politik Uni Eropa ini sepertinya memiliki kedok lain. Seperti ada udang di balik batu\’. Dugaan ini cukup beralasan, mengingat sekarang ini, Uni Eropa gencar memasarkan minyak nabati yang produksi oleh Benua Biru, yakni minyak rapeseed.
Tak hanya Uni Eropa yang diuntungkan dengan adanya diskriminasi tersebut. Produsen minyak nabati lainnya, seperti Amerika Serikat, pun ikut diuntungkan.
Lalu, apakah diskriminasi terhadap minyaksawitcukup berdasar? Data-data ilmiah sejauh ini setidaknya cukup membuktikan bahwa klaim Uni Eropa itu tidak berdasar.
Soal emisi yang ditimbulkan dari minyak sawit misalnya, dibandingkan dengan bahan baku biodiesel lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak sunflower),sawit justru menghasilkan emisi paling rendah.
Masih ada-fakta-fakta lain yang bisa membuktikan bahwa sejumlah tuduhan yang dialamatkan oleh Uni Eropa terhadap sawit Indonesia tidak beralasan atau tidak memiliki dasar yang kuat.
Maka tak heran, diskriminasi terhadap sawit ini kental bernuansa \’proteksionisme\’. Seperti ada upaya yang masif dan gigih untuk melindungi pasar Benua Biru dari masuknya minyak sawit dari negara lain.
Dengan demikian, pasar di negara itu bisa diisi oleh minyak nabati lainnya, termasuk yang diproduksi oleh Uni Eropa.
Kekhawatiran RI terhadap disahkannya rancangan peraturan itu juga cukup beralasan. Tak hanya pasar Eropa saja yang bakal terganggu. Pasar negara lain pun bisa terpengaruh.
Uni Eropa selama ini kerap dijadikan acuan karena menerapkan standar yang tinggi. Bukan tidak mungkin negara-negara lain pun mengadopsi kebijakan Uni Eropa tersebut.
Hingga saat ini, sejumlah langkah telah disiapkan pemerintah bersama-sama dengan pelaku usaha. Pendekatan antarparlemen juga akan digencarkan, sehingga kebijakan itu tidak disahkan.
Selain mempersiapkan tuntutan di WTO, lobi-lobi juga terus dilakukan. Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan telah menyatakan sikap yang cukup keras terhadap Uni Eropa.
Bahkan, menurut Luhut, Presiden Joko Widodo juga akan menyatakan sikapnya secara resmi atas diskriminasi Benua Biru itu.
Harian ini mengapresiasi upaya-upaya yang disiapkan Pemerintah Indonesia dan pelaku usaha. Kita semua berharap strategi RI dalam memerangi diskriminasi terhadap minyak sawit membuahkan hasil.
Namun, ke depan, perlu ada strategi dan kebijakan yang tepat untuk menjaga sawit nasional dari berbagai terpaan diskriminasi. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, berbagai bentuk diskriminasi terhadap sawit sudah dilakukan sejak dahulu. Komoditas ini memang sangat rentan menjadi sasaran kampanye negatif.
Strategi penyelamatan komoditas minyak sawit harus dipikirkan dengan tepat dan serius, sehingga tidak terus-terusan terjadi.
Coba lihat Malaysia sawit dianggap sebagai komoditas strategis yang sangat penting, sehingga penanganannya pun tidak main-main. Urusan persawitan di negara itu ditangani dengan serius oleh institusi yang sangat kuat, yang menangani mulai dari on farm hingga off farm.
Bagaimana di negara kita? Butuh political will yang kuat untuk menjadikan sawit sebagai komoditas strategis. Dengan demikian, kita bisa lolos dari berbagai terpaan kampanye negatif atau kebijakan politis negara tertentu yang mengancam komoditas tersebut.
Sumber: Bisnis Indonesia