Industri sawit menjadi penyelamat bagi perekonomian Indonesia. Peranan komoditas emas hijau ini menopang surplus perdagangan sampai mengentaskan kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa industri pengolahan merupakan sektor andalan dalam menyumbang nilai ekspor Indonesia. Pada tahun 2017, nilai ekspor industri pengolahan sebesar US$125 miliar. Angka tersebut memberikan kontribusi tertinggi hingga 76 persen, dari total nilai ekspor Indonesia yang mencapai US$168,73 miliar.
Menteri Airlangga menyebutkan bahwa minyak sawit menjadi komoditas yang mendominasi lima besar ekspor industri pengolahan sepanjang tahun 2017. Produk sawit berkontribusi tinggi terhadap ekspor industri makanan senilai Rp272 triliun, diikuti produk pakaian jadi menyumbangkan Rp90 triliun.
Selanjutnya, produk industri karet, barang karet, serta barang dari karet dan plastik sebesar Rp66 triliun, produk industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia Rp59 triliun, serta produk industri logam Rp51 triliun. “Saat ini, negara tujuan ekspor utama kita antara lain adalah Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura,” tuturnya.
Tingginya ekspor produk sawit menopang surplus perdagangan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat dalam neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$11,84 miliar pada 2017. Kontribusi terbesar berasal dari ekspor produk minyak sawit dan turunannya sebagaimana dibukukan pada 2016.
“Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu, karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” kata Bustanul Arifin, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Bustanul Arifin memprediksi hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat.
Pada 2017, nilai ekspor sawit dan produk turunannya (tidak termasuk oleokimia dan biodiesel) melonjak 26% menjadi US$ 22,97 miliar daripada tahun sebelumnya berjumlah US$18,22 miliar. Apalagi harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di 2017 meningkat dibandingkan 2016. Diketahui, harga rata-rata CPO di 2017 tercatat USD714,3 per metrik ton atau meningkat 2% dibandingkan harga rata-rata 2016 di angka USD700,4 per metrik ton.
Supaya dapat meningkatkan nilai ekspor, dikatakan Bustanul, sebaiknya pelaku usaha dan pemerintah dapat menyelesaikan persoalan sustainability atau keberlanjutan yang masih akan menjadi kendala.
“Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” katanya.
Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru. Misalnya saja negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di timur tengah. “Itu semua prospektif,” katanya.
Namun demikian, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, China jangan ditinggalkan. “Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang.”
Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. “Dalam kondisi ini, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional,” tutur Bustanul.
Pengamat politik J. Kristiadi mengatakan persoalan sawit di pasar internasional adalah persoalan kepentingan. Negara maju menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit. Negara maju membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi.
Sumber: Sawitindonesia.com