Jika di Indonesia menerbitkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) –maka di dunia sudah semenjak 2004 silam dan masuk ke Indonesia tahun 2006 lalu– muncul kesepakatan multistakeholder dalam penerapan praktik berkelanjutan yang ketat, dengan mengadopsi kebijakan yang belum ada di hukum positif di negera pengguna, yakni praktik berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dimana lembaga nirlaba itu memiliki keanggotaan dari 7 sektor, diantaranya pelaku perkebunan, prosesor dan trader, industri cosumer goods, LSM Lingkungan, LSM Sosial, Perbankan, dan ritel.

Hingga kini isu sustainability semakin kuat dan pada akhirnya menjadi salah satu faktor penentu dalam perdagangan minyak sawit di dunia, kendati pemberlakuan produk berkelanjutan itu masih mayoritas permintaan dari pasar dari negara-negara Eropa.

Nah, jika pelaku besar swasta dan pemerintah telah menjadikan isu berkelanjutan itu menjadi fokus dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit kedepan, lantas bagaimana dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani atau masyarakat?

Kendati diakui, isu sustainability itu untuk lima tahun terakhir terus disosialisikan hingga ke petani plasma dan swadaya. Utamanya bagi petani swadaya, apakah kemudian isu sustainability itu dianggap penting juga oleh para petani yang mengelola kebun sawit?

Kepala Riset RCCC-UI, Sony Tambunan menemukan sesuatu yang menarik, lataran berdasarkan hasil riset yang dilakukan di 2 Provinsi, Riau dan Sumatera Selatan, mencakup 96 Desa dan sekitar 1.350 petani, didapat bahwa setelah diajukan pertanyaan langsung, kebanyakan petani swadaya atau sekitar 69% tidak bersedia untuk tidak membuka lahan, alias mereka masih mau membuka lahan atau hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

“Sisanya 31 persen bersedia tidak membuka dengan kompensasi sekitar Rp 116 juta untu setiap ha, kendati kompensasi itu angkanya bisa lebih tinggi,” katanya dalam pemaparan hasil riset, belum lama ini di Jakarta yang dihadiri InfoSAWIT.

Untuk pertanyaan kedua, yakni petani didorong untuk pindah profesi tidak lagi menjadi petani sawit, sebanyak 85% menyatakan tidak bersedia, kalaupun bersedia, tutur Sony, mereka meminta kompensasi dengan rata-rata kompensasi sejumlah Rp 234 juta per ha. “Jadi bisa disimpulkan bahwa isu berkelanjutan di sawit itu bukan isu utama ditingkat petani, secara konsep kita memiliki tantangan yang tidak mudah,” katanya. (T2)

 

Sumber: Infosawit.com