Pengusaha melihat Instruksi Presiden (Inpres) soal moratorium lahan sawit bisa membuat semua lebih jelas, baik jumlah lahan, produksi, dan keperluan dalam negeri. Namun dikhawatirkan, minat investasi bakal turun.

Direktur Eksekutif Gabun­gan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, moratorium ini sebagai ajang evaluasi terhadap perizinan yang ada.

Misalnya, ada perusahaan yang memiliki izin, namun tidak dijalankan atau sebaliknya, belum punya izin, tapi sudah menjalankan bisnisnya.

“Ini yang ditertibkan dan menu­rut saya bagus, supaya ada kejela­san lahan sawit kita berapa saat ini. Kalau ada yang belum pu­nya izin, biar ketahuan sekalian, apakah belum dikasih dari daerah atau memang lahannya berada di kawasan hutan,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dengan data mumpuni, Sahat yakin, pemerintah bisa menin­gkatkan produktivitas tanaman sawit. Bahkan, moratorium ini tidak akan mempengaruhi produksi sawit Indonesia.

Hanya saja ada beberapa poin yang menurutnya belum jelas. Pertama, soal waktu tiga tahun yang dianggap terlalu lama. Jika Pemda aktif mendukung kebijakan ini, paling waktu yang dibutuhkan hanya setahun. Ked­ua, soal anggaran pendataan.

Dia setuju kebijakan ini di­lakukan sekarang. Sebab potensi pembukaan lahan baru tidak akan banyak. Di sisi lain, data yang didapat bisa dijadikan tolok ukur prospek industri sawit di masa yang akan datang. Misal­nya, untuk produksi.

Persoalan saat ini, kata dia, pe­merintah terlalu bergantung pada bahan baku impor. Padahal sudah ada penelitian yang bisa menye­but sawit bisa dikonversi menjadi bioavtur, green diesel, dan bahan bakar minyak lainnya.

“Produksi sawit tahun sudah bisa memenuhi program B20 (campuran biodiesel 20 persen, red) pemerintah,” katanya.

Sementara, Corporate Af­fair Director Asian Agri Fadhil Hasan menilai, Inpres No 8 Tahun 2018 tentang moratorim lahan sawit akan menurunk­an minat investasi pengusaha perkebunan. Pasalnya, regulasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

“Sehingga banyak dari kami tidak berani melakukan in­vestasi,” kata Fadhil di Jakarta, pekan lalu.

Selain itu, misskoordinasi antara pemerintah pusat dan pe­merintah daerah terkait masalah lahan masih menjadi kendala perusahaan dalam menyusun rencana investasi dan ekspansi. Dia meminta, supaya kebijakan one map policysegera diter­bitkan agar sinkronisasi data lahan bisa terealisasi.

Untuk diketahui, Presiden Jokowi telah menandatangani Inpres No 8 Tahun 2018 tentang moratorim lahan sawit. Selama tiga tahun ke depan, tidak akan ada pembukaan lahan baru untuk sawit.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, bukan berarti penambahan atau pen­ingkatan produksi sawit ikut dihentikan. “Inpres moratorium jangan diartikan kita sudah akan berhenti menambah produksi ke­lapa sawit, bukan,” katanya.

Dia berharap, dengan ada moratorium tersebut kualitas perkebunan di Indonesia akan semakin meningkat di mata dunia. “Kalau enggak, kita jadi bulan-bulanan terus, dibilang tidak jelas Indonesia malah nebang hutan untuk nanam sawit. Padahal, tidak demikian,” tuturnya.

Darmin memastikan, pemerin­tah akan memaksimalkan waktu yang ada untuk menuntaskan permasalahan seputar sawit. “Kita beri waktu tiga tahun un­tuk membereskan, membenahi, berbagai persoalan yang ada di perkebunan sawit, termasuk juga di antaranya kalau dia masuk kawasan hutan,” katanya.

Masalah yang dibereskan ada­lah semua sektor kebun sawit. Mulai dari kebun rakyat hingga kebun perusahaan. Terutama ke­bun yang belum terdaftar secara resmi. Termasuk perkebunan rakyat yang belum terdaftar, bahkan perkebunan menengah besar ada yang tidak terdaftar dengan baik.

Ke depannya, lanjut Darmin, seluruh masalah akan mulai dijabarkan satu per satu hingga perumusan sanksi yang akan diberikan. “Tentu nanti akan ada persoalan-persoalan, ya selama ini dia tidak terdaftar, melanggar apa, kemudian apa namanya, sanksinya apa, ada aturan main­nya ada,” pungkasnya.

 

Sumber: Rmol.com