Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan minyak kelapa sawit tidak hanya sebagai campuran bahan pangan dan oleochemical saja, tetapi juga dapat dijadikan sebagai alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan. Berbagai inovasi terus dilakukan oleh sejumlah pihak demi optimalisasi multimanfaat kelapa sawit bagi masyarakat dan negara.
Senada dengan kondisi tersebut, sejak tiga tahun yang lalu, Laboratorium CaRE Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah menguji coba pengolahan minyak kelapa sawit menjadi biosolar, biogasoline, dan bahkan bioavtur untuk pesawat terbang.
Melanjutkan proyek tersebut, CaRE ITB bersama alumni Teknik Kimia (TK) ITB seperti Sahat Sinaga, Sapto Tranggono, dan rekan lainnya akan melakukan uji coba produksi bensin super-biohydrocarbon berbahan dasar minyak kelapa sawit di Kudus, Jawa Tengah.
Kegiatan tersebut didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) termasuk untuk pengembangannya. Perlu diingat, bensin biohydrokarbon ini identik dengan bensin yang digunakan mobil balap Formula 2 (F2).
Nantinya, bensin biohydrokarbon akan dipasarkan seharga Rp38.500 per liter, yang mana harga ini tercatat lebih murah dibandingkan bahan bakar super-car impor yang dibanderol seharga Rp56.000 per liter.
Ketua Masyarakat Biohydrokarbon Indonesia (MBI), Sahat Sinaga mengatakan, “bensin super (BS) ini Octane Number (ON)-nya 110. Jadi, sudah setara minyak pesawat terbang yang ON-nya 100/130. Pertamax Plus ON-nya cuma 95, Pertamax apalagi, hanya 92.”
Lebih lanjut Sahat menjelaskan bahwa pabrik uji coba yang berlokasi di Kudus tersebut masih berkapasitas kecil yakni menghasilkan 1.000 liter per hari. Kendati demikian, dikarenakan ON yang dikandung bensin biohydrokarbon ini masih tinggi, maka tidak dapat langsung dikomersialkan.
Sahat menjelaskan, “setelah disuling, minyak fosil itu bisa kita beli seharga Rp4.500 per liter. Inilah yang akan kita bikin campuran bensin super itu supaya ON-nya bisa turun menjadi 92. Premium setara Pertamax ini bakal kita jual Rp9.100 seliter.”
Tidak hanya di Kudus, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), Care ITB dan Pemkab Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel) berencana membangun pabrik berkapasitas 2.500 barel per hari dan di Pelalawan, Riau juga akan dibangun pabrik dengan kapasitas 1.500 barel per hari.
Untuk tahap awal, Sahat menjelaskan, akan dibangun pabrik penghasil produk industry vegetable oil (IVO) terlebih dahulu.
“IVO ini adalah minyak CPO+ untuk tujuan bahan bakar yang sudah bebas dari komponen perusak oleh katalis ‘merah-putih’ produksi CaRE ITB. Jadi, jelang tiga pabrik itu, ada minyak sawit IVO yang dihasilkan di Muba, dikirim dulu ke kilang Pertamina di Plaju, Palembang. Terus yang di Pelalawan dikirim ke Kilang Pertamina Dumai. Yang bekerja sama dengan Pertamina, koperasi petani. Sebab koperasi itulah nanti yang jadi pemilik pabrik IVO itu,” terang Sahat.
Bagi Sahat, unit pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak IVO disebut traga oil mill (TOM) yang merupakan generasi kedua setelah PO mill. TOM inilah yang nantinya akan menghasilkan IVO yang diolah di kilang biohydrocarbon untuk menjadi bensin super.
“Investasinya 90 persen dari belanja modal capital expenditure (Capex) PKS konvensional. Nah, kalau ongkos olah TBS di PKS biasanya berkisar Rp153 per kilogram, di TOM hanya Rp95-Rp110 per kilogram,” ujar Sahat.
Jika apa yang dikatakan Sahat ini segera terwujud, bukan tidak mungkin ekspor biodiesel ke Eropa maupun Amerika, dihentikan.
“Kalau sekarang harga CPO tinggi, jangan senang dulu, sebab harga CPO yang tinggi justru jadi racun atau narkoba yang membikin petani tidak produktif berkebun dan mereka akan banyak tidur. Jangan terninabobokkan dengan itu,” pinta Sahat.
Tidak hanya itu, Sahat juga berpesan, untuk mencapai tingkat harga IVO yang affordable, satu-satunya jalan yakni dengan meningkatkan produktivitas kebun agar berada di atas 20 ton TBS per hektare per tahun.
Sumber: Wartaekonomi.co.id