JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi meminta pemerintah untuk tidak memperpanjang moratorium sawit. Pasalnya, regulasi pemerintah sangat lengkap mengatur tata kelola sawit dari aspek perekonomian, lingkungan, dan sosial.
Usulan ini diungkapkan Dr. Sadino, Pengamat Kehutanan dan Prof. Sudarsono Soedomo, Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan IPB University, mengenai Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang akan berakhir pada 2021.
“Moratorium tidak usah diperpanjang dan dapat menjalankan mandatori yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sendiri. Konsep regulasi sudah sangat komplit mulai dari UU, PP, Perpres, dan Permen. Begitu pula juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis),” ujar Sadino.
Sadino mengungkapkan regulasi kita di dunia sawit itu sudah menerapkan tiga aspek tata kelola kebun sawit yaitu aspek ekonomi, lingkungan dan sosial.
“Tinggal implementasi di lapangan saja perlu selalu diingatkan yang kurang baik supaya lebih baik dan yang sudah baik ditingkatkan lebih baik,” jelasnya.
Senada dengan Sadino. Prof. Soedarsono Sudomo, Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan IPB University, menyebutkan bahwa moratorium perizinan baru sawit tidak perlu diperpanjang karena sebenarnya Inpres 8/
2018 itu tidak perlu ada. Problem yang sebenarnya berada di pemerintah khususnya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sering membuat mandeg semua urusan.
Sudarsono menyebutkan ada beberapa alasan mengapa inpres itu tidak perlu diperpanjang atau jika mungkin diperpendek. Pertama, Inpres 8 tahun 2018 itu memang tentang perkebunan kelapa sawit, khususnya soal perizinan dan produktivitas, tetapi nuansanya adalah nuansa kehutanan. Yang sakit dan berpenyakit itu kehutanan, tetapi ditularkan ke sektor lain. Tentu saja bukan sekedar tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah.
Kedua, kelapa sawit hingga detik ini merupakan industri andalan untuk menopang perekonomian nasional. Langkah logisnya adalah perizinannya harus dipermudah, bukan malah dihentikan meski hanya untuk sementara.
Ditambahkan Sudarsono apabila masalahnya ada di pemerintahan, maka yang perlu dikoreksi adalah pemerintahnya. Sementara itu, industrinya harus tumbuh sehat dan memberikan kemakmuran.
Ketiga adalah peningkatan produktivitas lahan, khususnya sawit rakyat, itu memang penting tetapi harus didukung oleh pemikiran yang benar.
“Jika memakai logika yang digunakan dalam inpres tersebut dimaknai bahwa sawit menggusur hutan. Faktanya, produktivitas sawit tinggi maka kebutuhan lahan untuk sawit lebih kecil. Imbasnya adalah lebih sedikit juga hutan yang tergusur. Sekarang saya balik, apakah karena produktivitas hutan yang sangat rendah maka diperlukan kawasan hutan yang begitu luas?” tanya peraih S3 Ilmu Pengelolaan Hutan IPB University.
Ringkasnya, kata Sudarsono, Inpres 8 tahun 2018 itu menjawab pertanyaan yang salah; sektor yang sangat tidak produktif dimanja dan menghambat sektor yang jauh lebih produktif dan tumbuh sehat. “Kalau cara mikirnya seperti ini, kapan rakyat Indonesia dapat hidup makmur?” kata Sudarsono.
Sadino meminta pemerintah agar menjalankan regulasi karena sudah lengkap. Contoh membangun sawit saat ini tidak mudah harus lengkap izin karena sudah ada standar ISPO, Amdal, HCV, UUCK dan lainnya.
“Instrumen hukumnya itu dijalankan dulu dan perlu diingat sawit itu ujungnya sustainability dan terlihat yang bisa membuktikan ya sawit ini. Kalau ada yang kurang memperhatikan aspek lingkungan perlu dibina,” pungkas Sadino.
Sumber: Sawitindonesia.com