Dua bulan sejak program minyak goreng bersubsidi dijalankan, harga minyak goreng curah di pasaran tak kunjung turun. Ombudsman RI mendalami dugaan malaadministrasi dalam program penyediaan minyak goreng bersubsidi dan mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan harga.

Pergerakan harga di sejumlah situs pemantauan harga komoditas, per Jumat (13/5/2022), menunjukkan kenaikan harga minyak goreng curah. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, misalnya, mencatat harga minyak goreng curah naik 0,58 persen dalam sepekan menjadi Rp 17.300 per liter atau masih di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.

Sementara Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, harga minyak goreng curah Rp 19.100 per kilogram. Meski turun dibandingkan dengan Rp 20.500 per kg pekan sebelumnya, angka itu di atas HET Rp 15.500 per kg.

Komisioner Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, harga tak kunjung turun kendati program minyak goreng curah bersubsidi sudah berlangsung dua bulan. Hal itu memunculkan dugaan malaadministrasi dalam proses penyediaan dan penyaluran minyak goreng. Di sisi lain, larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, yang sudah berjalan dua pekan, tidak berdampak pada penurunan harga.

Kegagalan berbagai jenis kebijakan minyak goreng sejak awal tahun pun memunculkan pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah mengendalikan .harga, mulai dari tahap perencanaan kebijakan, implementasi, sampai pengawasan. “Ada potensi kelalaian dan inkompetensi. Ini sedang diuji melalui pemeriksaan. Dugaan malaadministrasinya bisa berkembang, meski bisa juga tidak terbukti,” ujarnya.

Rangkaian pemeriksaan telah digelar Ombudsman RI awal pekan ini. Pada Selasa (10/5/2022), misalnya, Ombudsman secara maraton memeriksa empat kementerian dan lembaga yang terlibat dalam program itu, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan Kementerian Keuangan.

Menurut Yeka, pihak-pihak tersebut diundang untuk memberikan penjelasan terkait dengan pasokan dan harga minyak goreng curah yang masih bermasalah di pasaran.

Pasokan berlebih

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan, pasokan minyak goreng curah sebenarnya sudah melebihi kebutuhan. Target produksi April 2022, misalnya, 194.000 ton, sementara pasokan yang tersedia mencapai 214.000 ton atau 8,7 persen di atas kapasitas yang diperlukan.

Persoalan harga yang tak kunjung turun ditengarai akibat problem di jalur distribusi. Ada empat faktor yang menurut Sahat menjadi penyebab. Pertama, minyak goreng bersubsidi disalurkan sampai ke pelosok, bahkan ke daerah yang selama ini tidak pernah dipasok minyak goreng jenis curah. “Artinya, jangkauan distribusi jauh lebih luas dibandingkan yang diduga. Maka, pasokan seolah selalu kurang,” katanya.

Kedua, masyarakat yang biasanya mengonsumsi minyak goreng kemasan diduga beralih ke curah yang harganya lebih murah. Hal itu terlihat dari sejumlah ritel yang belakangan menurunkan harga minyak goreng kemasan premium.

Ketiga, ada dugaan minyak goreng curah diekspor dalam bentuk minyak jelantah. Menurut Sahat, berdasarkan data asosiasi pengekspor minyak jelantah, pada April 2022, volume ekspor minyak jelantah justru naik dari biasanya 400.000 ton per bulan menjadi 700.000 ton per bulan.

“Itu disinyalir berasal dari minyak goreng curah karena minyak jelantah yang diekspor harganya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dijual sebagai minyak goreng curah di dalam negeri,” kata Sahat.

Harga minyak goreng curah ditargetkan lebih terkendali mulai pekan depan, seiring dengan keterlibatan Perum Bulog dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dalam distribusi. Terlebih, kata Sahat, untuk sementara ini memang belum semua produsen efektif beroperasi setelah Lebaran. “Mulai hari Senin (9/5) sampai hari ini, dari data yang ada, minyak goreng curah sudah dipasok hampir 45.000 ton. Bulan Mei ini, kami akan banjiri pasokan. Bisa dilihat sekarang masyarakat yang mengantre sudah hampir tidak ada. Artinya, pasokan sudah cukup, tinggal harganya yang.perlu kita kendalikan,” kata Sahat.

 

Sumber: Kompas