Petani sawit di Indonesia harus bertransformasi dari menjual Tandan Buah Segar (TBS) sawit menjadi minyak sawit (CPO). Harapannya daya tawar petani lebih tinggi dan meningkatkan penghasilan mereka.

“Sejak awal berkembangan perkebunan rakyat, memang petani selalu menjual produknya TBS sawit. Tradisi perdagangan ini sulit diubah karena kenyataannya petani tidak bisa mengolah buah sawit menjadi minyak, ” Dr.Darmono Taniwiryono,Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) di sela-sela seminar Diseminasi Kinerja Industri Hilir Kelapa Sawit di Hotel Grand Dhika, Medan pada Senin (8 Oktober 2018).

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi petani untuk beralih menjadi penghasil minyak sawit. Dijelaskan Darmono, pada kondisi di mana petani mempunyai kebun skala kecil dan lokasinya jauh dari pabrik sawit. Selain itu, akses jalan untuk pengangkutan buah kurang bagus sehingga petani tidak bisa keluar dari permasalahan besar tersebut. Jika tidak cepat diolah, maka kualitas TBS sawit dapat menurun karena buah hanya bisa bertahan selama 24 jam sebelum sampai ke PKS.

Untuk mengatasi persolana tadi dan menjawab perubahan industri sawit di masa depan. Darmono mengusulkan menjelang era industri 4.0, petani harus menjual CPO bukan TBS lagi. Karena dalam database perdagangan sawit dunia, tidak ada harga TBS tetapi yg ada harga CPO.

Menurut Darmono, dengan menjual CPO petani lebih mudah berkomunikasi dengan dunia internasional di era Industri 4.0. “Dalam hal ini semua pihak harus bisa menerima dan mengikuti tuntutan jaman. Dan pemerintah perlu memfasilitasi itu,”jelasnya.

Ada sejumlah keuntungan apabila petani menjual CPO antara lain minyak sawit lebih tahan lama, mengatasi masalah TBS mentah serta, rendemen rendah, kelembagaan petani bisa dibangun lebih kuat, petani dapat menterjemahkan dengan mudah perkembangan pasar Internasional, dan terakhir membuat daya tawar petani meningkat.

Darmono menjelaskan buah sawit dipanen dari ribuan petani, dari jenis tanaman yang bervariasi dan tingkat kematangan buah tidak merata. Dengan demikian kualitas TBS dapat dipastikan sangat bervariasi. Akibatnya petani memiliki daya tawar yang rendah terhadap buah yang akan dijual. Dan selamanya akan demikian. Pembentukan kelembagaan perekatnya tidak kuat jika hanya untuk jual TBS.

Solusinya, kata Darmono, petani perlu membangun Pabrik Kelapa Sawit Rakyat (PKS-R) berkapasitas olah 500 kg TBS per jam dari 150 ha kebun. Darmono menjelaskan investasi pabrik sawit rakyat sekitar Rp 2,3 milyar sudah termasuk fasilitas pengolahan limbah cair menjadi biogas yang dibakar.

Walaupun banyak pihak yang meragukan tapi Darmono optimis. Syaratnya adalah petani berkelompok untuk memenuhi syarat luasan 150 hektar. Selain itu, jumlah petani yang bergabung tidak terlalu banyak sehingga koordinasi gampang.

Darmono mengusulkan idealnya satu wilayah di mana terdapat 10 PKS-R perlu dibuat tangki timbun baik oleh swasta maupun oleh mereka sendiri.

Terkait kualitas minyak sawit, menurut Darmono, kualitas minyak sawit dari PKS-R berkapasitas 500 kilogram TBS per jam tidak berbeda dengan pabrik sawit besar.

 

Sumber: Sawitindonesia.com