Konflik ekspor biodiesel sawit ke Uni Eropa, mendorong pemerintah Indonesia membawanya ke meja World Trade Organization (WTO), setelah sebelumnya dilakukan upaya perundingan lewat berbagai event.
Kejadian tersebut, bahkan membuat sebagian pemberitaan seolah ekspor kelapa sawit akan tertutup tanpa sisa dan mematikan industry kelapa sawit nasional. Padahal kata Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia, Tiur Rumondang, pasar ekspor minyak sawit ke Uni Eropa terbagi dalam dua kelompok besar yakni untuk sektor pangan dan sektor industri (termasuk di dalamnya untuk produk personal care, kosmetik dan energi).
“Semua produk minyak sawit yang bersertifkat RSPO kebanyakan untuk sektor pangan tidak mengalami masalah ekspor hingga saat ini, karena memang kami tidak mensertifikasi minyak sawit untuk biofuel,” katanya kepada InfoSAWIT, disela FGD Sawit Berkelanjutan, bertema “Ketahanan Pangan Indonesia: Sawit Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis (19/12/2019), diadakan InfoSAWIT.
Lebih lanjut kata Tiur, untuk sertifikasi sektor energi (biodiesel sawit) biasanya umum menggunakan skim International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), yang berpusat di Jerman.
Sementara merujuk data dari Eurostat menunjukan volume impor minyak sawit dari Indonesia ke Uni Eropa dari dua kelompok besar (pangan dan non Pangan) tahun 2018 dari Indonesia mengalami penurunan 22% menjadi 1,95 juta ton, dibandingkan tahun 2017 yang mampu mencapai 2,5 juta ton, sementara dalam 5 bulan pertama tahun 2019, volume impor minyak sawit dari Indonesia mulai mencatat peningkatan 0,7%.
Sebelumnya minyak sawit yang diekspor ke Uni Eropa merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut, akan tetapi, pada 2018 telah diubah menjadi biodiesel di Indonesia dan dijual ke Uni Eropa.
Dalam lima tahun terakhir nilai impor minyak sawit relatif stabil dengan rata-rata 3,5 juta ton atau 2,2 miliar euro per tahun. Pangsa pasar minyak sawit Indonesia di Uni Eropa tetap menjadi yang terbesar mencapai 47% dari total impor.
Sumber: Infosawit.com