Jakarta: Langkah Uni Eropa yang masih membuka pasar mereka bagi produk sawit dan turunannya asal Indonesia ditanggapi dingin oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Menurut Direktur Eksekutif Gapki Danang Girindrawardana, mencari pasar baru untuk CPO bukanlah hal sulit. Pasalnya komoditas tersebut ialah bahan baku bagi sebagian besar kebutuhan sehari-hari.

Saat ini, Indonesia sudah mulai masuk ke pasar Afrika dan diyakini kebutuhan di ‘Benua Hitam’ itu akan terus bertumbuh secara signifikan. Bahkan, ia memprediksi angka ekspor ke pasar Afrika akan segera menyamai pengiriman ke ‘Benua Biru’ dalam waktu setahun ke depan.

Sejak Januari hingga April tahun ini, data Gapki menunjukkan ekspor ke negara-negara Afrika sudah sebesar 703 ribu ton. Hampir separuh ekspor ke negara-negara Eropa yang mencapai 1,5 juta ton. Dari bulan ke bulan, ekspor CPO ke Afrika terus bertumbuh, yakni 16 persen pada bulan kedua dan 38 persen pada bulan ketiga.

Capaian tersebut sudah cukup membuktikan seberapa besar kebutuhan Afrika akan produk sawit dan tentunya potensi itu akan terus tumbuh di masa mendatang.

“Kita tidak bisa menggantungkan diri pada Uni Eropa. Kita bisa tutup pasar Eropa, buka pasar baru. Serapan ke Eropa dalam waktu dekat bisa dialihkan ke pasar nontradisional. Mungkin hanya butuh satu tahun,” ujar Danang kepada Media Indonesia, Selasa, 19 Juni 2018.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang mengungkapkan Afrika merupakan pasar yang sangat menjanjikan dengan total penduduk yang sangat besar. Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan permintaan produk sawit Afrika terus merangkak naik hingga lebih dari 10 persen.

“Afrika itu secara pnduduk besar sekali. Satu negara bisa 60 juta jiwa. Nigeria saja mencapai 80 juta orang dan tentunya mereka sangat membutuhkan CPO. Produksi sawit di sana ada, tetapi tidak besar,” ucap Togar.

Hanya Menunda

Sebelumnya Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend menegaskan Uni Eropa merupakan dan akan tetap menjadi pasar paling terbuka untuk minyak sawit Indonesia. Hal itu sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam Revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II).

Danang menyebut poin-poin dalam teks RED II hanya menunda implementasi pelarangan biofuel berbahan dasar kelapa sawit. Semula pelarangan diputuskan untuk dimulai pada 2021 kemudian diundur menjadi 2030.

“Ini hanya menunda. Niat buruk mereka tidak akan hilang,” ujar Danang.

Oleh karena itu, langkah Gapki yang tetap mencari pasar baru bagi produk sawit Indonesia sudah tepat. Terlebih bila melihat perkembangan yang ada di Eropa saat ini bahwa para petani dan kelompok aktivis lingkungan masih terus menyuarakan penolakan terhadap penggunaan minyak sawit sebagai campuran dalam produksi bahan bakar nabati.

Insiden terakhir ialah penolakan dari para petani Prancis yang menanam rapeseed yang merupakan tanaman penghasil minyak lokal.

Petani-petani Prancis memblokade kilang minyak dan depot bahan bakar pada Minggu, 10 Juni 2018 malam sebagai protes atas rencana Total menggunakan minyak sawit impor di pabrik biofuel mereka.

 

Sumber: Metrotvnews.com