Pasar Tiongkok bisa menjadi penopang kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tahun ini. Sebab, Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia paling berpeluang memanfaatkan kebijakan Tiongkok yang akan mengalihkan sumber pasokan kedelainya ke negara-negara penghasil minyak nabati lain di luar AS, apalagi Negara Tirai Bambu tersebut juga berencana memangkas bea masuk (BM) atas impor minyak nabatinya. Peningkatan ekspor ke Tiongkok tersebut akan menutupi terganggunya ekspor sawit ke pasar Uni Eropa (UE) dan India.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi mengatakan, pasar ekspor Indonesia terutama UE dan India diperkirakan mengalami gangguan tahun ini. Pasar UE terganggu karena dampak kebijakan anti sawit (diskriminasi sawit) turut mempengaruhi permintaan komoditas perkebunan tersebut di kawasan UE. Sedangkan pasar India terganggu karena kebijakan BM sawit Indonesia yang jauh lebih tinggi dari Malaysia. “Namun, meski ada faktor yang menekan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia, masih ada peluang-peluang yang dapat menopang pertumbuhan, salah satunya peluang pertumbuhan permintaan dari Tiongkok,” kata Kanya.

Ekspor minyak sawit Indonesia hingga akhir 2019 dikhawatirkan lebih rendah dari 2018. Data Gapki menunjukkan, sepanjang 2018 volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 32,024 juta ton dengan tanpa memperhitungkan biodiesel dan oleokimia. Secara total, ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya sepanjang 2018 adalah 34,71 juta ton atau naik dari 2017 yang sebesar 32,18 juta ton. Sementara itu, ekspor minyak sawit nasional pada semester 1-2019, baik CPO dan turunannya, biodiesel, dan oleokimia, naik 10% dari periode sama 2018 yakni dari 15,30 juta ton pada Januari-Juni 2018 menjadi 16,84 juta ton pada periode sama 2019.

Kanya mengatakan, apabila pola pertumbuhan pada semester 1-2019 terus berlanjut maka kinerja ekspor hingga akhir tahun ini masih akan tetap di atas 30 juta ton. Hanya saja, pada saat bersamaan pasar ekspor Indonesia juga mengalami gangguan, seperti UE dan India. “Tapi, itu hitungan saya. Belum ada angka resmi. Cuma saya khawatir sampai akhir tahun ekspor kita akan terpangkas, mungkin sekitar 2 jutaan ton,” kata Kanya Lakshmi usai diskusi yang bertajuk Peluang Pasar sawit Berkelanjutan Indonesia di Jakarta, kemarin.

Gapki mencatat, ekspor minyak sawit Indonesia ke UE pada 2018 terpangkas menjadi 4,78 juta ton dari 2017 yang mencapai 5,02 juta ton. Sedangkan ekspor ke India pada 2018 terpangkas menjadi 6,71 juta ton dari 2017 yang sebesar 7,62 juta ton. Sepanjang semester 1-2019, ekspor minyak sawit Indonesia ke UE tercatat 2,40 juta ton dan ke India 2,09 juta ton. “Selama pola pada semester pertama masih sama, saya yakin ekspor masih akan di atas 30 juta ton. Tapi, ini kan agak terganggu. Contohnya dengan UE, meski saya yakin tidak semua 5 juta ton (potensi pasar minyak sawit Indonesia di UE dalam setahun) itu akan hilang. Yang hilang biodieselnya, walaupun belum langsung sekarang, tidak langsung berhenti. Jadi, kalau pun berkurang, katakanlah yang porsi pasar segmem pangan itu ada 60%, setidaknya permintaan di segmen itu akan bertahan,” kata Kanya.

Di sisi lain, lanjut dia, meski ada faktor yang menekan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia, masih ada peluang-peluang yang dapat menopang pertumbuhan. Salah satunya, peluang pertumbuhan permintaan dari Tiongkok yang akan mengalihkan sumber pasokan kedelainya ke negara-negara penghasil minyak nabati lain di luar Amerika Serikat (AS) dan rencana memangkas BM atas impor minyak nabati. Seperti diketahui, saat ini perang dagang antara Tiongkok dan AS masih berlangsung. “Ini peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia. Setidaknya, bisa mengatasi penurunan yang terjadi di negara lain. Selain itu, meski ekspor kita ke India sempat turun drastis kemarin, tapi ada
kemauan mereka ingin menyamakan tarif BM atas minyak sawit kita sama dengan Malaysia. Dampaknya akan bisa cepat, masalahnya adalah kapan bisa efektif. Jadi, belum ada perhitungan resmi, cuma kalau hitungan saya, cuma terkoreksi,” kata Kanya.

Di luar itu, Kanya menjelaskan, yang harus menjadi fokus sejatinya adalah upaya peningkatan ekspor ke pasar-pasar baru, seperti Pakistan. Pemerintah bisa menjajaki peluang di pasar-pasar baru lainnya dengan melakukan negosiasi sekaligus melakukan financial settlement. Upaya peningkatan penyerapan sawit di dalam negeri juga diharapkan mampu mengkompensasi kekurangan-kekurangan yang terjadi di pasar ekspor, misalnya melalui program biodiesel 20% (B20).

Kanya menuturkan, dengan program B20 maka diproyeksikan terjadi penyerapan minyak sawit nasional hingga 6 juta ton. Penyerapan akan semakin besar apabila ada kebijakan lain yang mampu menambah penyerapan minyak sawit lebih cepat di dalam negeri. “Solusinya misalnya penyerapan CPO oleh PLN atau percepatan pelaksanaan wajib biodiesel 30% (B30). Kalau bisa terealisasi maka serapan di dalam negeri bisa menjadi 9 juta ton. Itu terjadi kalau salah satunya, baik percepatan B30 atau pembelian PLN, bisa terlaksana tahun ini,” kata Kanya.

Gandeng Malaysia

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sepakat bersatu untuk menghadapi diskriminasi produk kelapa sawit kedua negara bertetangga tersebut oleh UE. Kesepakatan tersebut dicapai dalam kunjungan resmi Presiden Joko Widodo di Malaysia. Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana berkunjung ke Malaysia sejak Kamis (8/8) hingga Jumat (9/8). Dalam kunjungannya tersebut, Kepala Negara melakukan pertemuan bilateral dengan PM Mahathir dan membahas sejumlah hal, termasuk sawit.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang turut serta bersama Presiden dalam kunjungan resmi itu menerangkan bahwa kedua pemimpin berbicara dan membahas beberapa hal, di antaranya komitmen kedua pemimpin untuk bersatu melawan diskriminasi produk kelapa sawit kedua negara. “Presiden Jokowi dan PM Mahathir juga sepakat untuk bersatu dalam menghadapi diskriminasi produk kelapa sawit kedua negara oleh UE. Kedua pemimpin memiliki komitmen yang tinggi untuk meneruskan perlawanan terhadap diskriminasi sawit,” jelas Retno seperti dilansir Antara.

Indonesia dan Malaysia memiliki komitmen tinggi dalam isu pengolahan dan pengelolaan sawit yang berkelanjutan. Indonesia juga telah memiliki sertifikasi sawit dan data-data ilmiah yang dapat dipakai untuk perbandingan. ASEAN dan UE telah sepakat membentuk working group on palm oil. Indonesia menilai bahwa persamaan persepsi mengenai kerangka kerja WG tersebut penting untuk dilakukan. Tanpa persamaan persepsi dikhawatirkan working group (WG) tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan. “Jadi, pendekatan kita adalah pendekatan yang terbuka. Mari kita bekerja sama. Tapi ya sekali lagi, kalau ajakan kerja sama itu tidak dan terus menerus kita terdiskriminasi ya pastinya Indonesia dan Malaysia tidak akan diam. Kita akan melawan,” kata Retno.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia