JAKARTA – Pelaku industri siap menjalankan kebijakan mandatori minyak goreng dalam kemasan (migor kemasan) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2020. Pelaku industri domestik saat ini dalam proses transisi dari proses produksi minyak goreng curah ke kemasan, di antaranya dengan melakukan pengadaan mesin pengemasan dan ruang penyimpanan yang lebih besar. Dengan mandatori migor kemasan maka nantinya tidak ada lagi migor curah, yang diduga tidak memenuhi kesehatan dan keamanan pangan, di pasaran.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, rencana proses peralihan atau transisi penggunaan migor curah ke kemasan sudah berlangsung sejak lama. Sesuai kesepakatan terakhir antara pemerintah dan pelaku industri migor domestik, proses transisi tersebut akan selesai pada 2019. “Proses transisi sedang berlangsung, dengan begitu pada 2020 sudah tidak akan ada lagi minyak goreng curah di pasaran,” kata Sahat saat berbuka puasa dengan media di Jakarta, pekan lalu.
Dalam peralihan dari minyak curah ke kemasan. Sahat mengakui akan adanya dampak terhadap harga komoditas tersebut Pasalnya, dibutuhkan tambahan biaya, mulai dari mesin untuk pengemasan, ruang penyimpanan yang lebih besar, termasuk kotak (kardus) kemasan luar, dalam proses tersebut. Apalagi, pemerintah menginstruksikan agar kemasan 250 gram juga tersedia di pasaran, padahal semakin kecil kemasan maka dibutuhkan biaya lebih besar. “Hanya saja, faktor penentu memang tetap harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Sebab, biaya kemasan hanya berdampak sekitar 10-15%,” kata Sahat
Sahat juga memperkirakan, dalam proses peralihan tersebut maka investasi pengemasan migor domestik akan lebih terpacu. Ini karena pada 2019 perusahaan akan sibuk membeli mesinfilling. “Dengan total volume 3,50 miliar kilogram minyak goreng curah yang dialihkan ke kemasan, katakanlah untuk 500 mililiter per kemasan berarti dibutuhkan setidaknya 1.850 unit mesin. Dengan harga sekitar Rp 600 juta per. unit mesin berarti bakal ada investasi triliunan rupiah,” kata Sahat Sinaga.
Dalam perkiraan GIMNI, tahun ini, konsumsi minyak goreng domestik mencapai 12,76 juta ton atau lebih tinggi dari tahun lalu yang sebanyak 11,06 juta ton. Peningkatan konsumsi minyak goreng tersebut sejalan dengan peningkatan penggunaan minyak sawit untuk dalam negeri pada 2018 yang masih didominasi untuk pangan. Rinciannya, sebanyak 8,41 juta ton minyak sawit untuk makanan dan specialty fats, 845 ribu ton untuk oleochemical dan soap noodle, serta 3,50 juta ton untuk memenuhi kebutuhan biodiesel.
Masih Menjanjikan
Sementara itu, industri minyak sawit nasional diyakini masih menjanjikan tahun ini, hal itu ditopang oleh permintaan yang masih tumbuh, baik dari dalam maupun luar negeri. Apalagi, industri hilir berbasis kelapa sawit di Indonesia juga diyakini saat ini mengalami pertumbuhan positif, terutama minyak nabati, oleokimia, dan biodiesel.
Sahat Sinaga mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang mendukung pertumbuhan positif industri hilir sawit. Pertama, produk biodiesel tidak lagi dibebani tarif tinggi oleh Uni Eropa (UE). Kedua, diplomasi dagang pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sangat aktif. Ketiga, tindakan retaliasi Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah negara seperti Tiongkok, Meksiko maupun Uni Eropa. Keempat, menguatnya kurs mata uang AS. “Faktor inilah yang membawa angin segar bagi perdagangan sawit di pasar global,” kata Sahat.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat memproyeksikan, ekspor produk oleokimia tahun ini mencapai 4,40 juta ton atau naik dari 2017 yang sebanyak 3,60 juta ton. Peningkatan ekspor ditopang tren kenaikan konsumsi global, terutama produk kosmestik, industri, ban, dan kebutuhan di sektor pengeboran minyak. “Ekspor juga semakin menarik karena ada investasi baru oleokimia,” ujar dia.
PT Energi Sejahtera Mas dan Unilever misalnya, kata dia, akan menopang pasokan industri oleokimia Indonesia ke pasar dunia. Nilai ekspor produk oleokimia mencapai US$ 3,30 miliar pada 2017. “Tahun ini, kami perkirakan nilai ekspor naik menjadi US$ 3,60 miliar. Sampai triwulan 1-2018 terpantau volume ekspor oleokimia sudah mencapai 1,10 juta ton, dengan nilai perdagangan US$ 915 juta,” kata Rapolo.
Di segmen biodiesel, Ketua Harian Asosiasi Produsen Bio-fuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan, tahun ini pemakaian di dalam negeri dipredikai naik sekitar 500 ribu kiloliter (kl). Dengan syarat, penggunaan biodiesel nonsubsidi berjalan ditambah pemakaian biodiesel untuk bahan bakar kereta api dan di sektor pertambangan. “Jika konsumsi B20 oleh kereta api terealisasi, konsumsi domestik bisa tambah 200-500 ribu kiloliter (kl). Untuk ekspor diproyeksikan bisa mencapai 500 ribu kl ke Eropa hingga akhir tahun ini. Ada juga biodiesel yang dijual ke negara lain, tapi jumlahnya kecil,” kata Paulus.
Sementara itu, dia menambahkan, WTO memenangkan gugatan Indonesia terhadap kebijakan antidumping Uni Eropa. Hal ini juga membawa angin segar bagi Indonesia. “Komisioner Eropa mengirimkan sinyal tidak mendukung resolusi sawit yang diusulkan Parlemen Eropa. Itu sebabnya, sejumlah produsen biodiesel menjajaki pengiriman biodiesel ke Eropa, yang sempat terhenti beberapa tahun terakhir,” kata Paulus.
Oleh Damiana Simanjuntak
Sumber: Investor Daily Indonesia