Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa pemerintah akan mencari solusi guna mengatasi permasalahan di subsektor kelapa sawit setelah sebelumnya mendengar hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Memang ada masalah yang harus kita selesaikan, jadi akan sama-sama kita cari solusinya, dan akan kita laporkan juga kepada Presiden dari situ kita tindak lanjuti,” ujar Luhut.

Menko Luhut mengatakan hal tersebut saat berada di Gedung BPK untuk menghadiri undangan Anggota FVBPK Rizal Djalil. Menko Luhut bersama dengan beberapa menteri lain diundang untuk mendengarkan hasil temuan BPK, di antaranya temuan masalah terkait kelapa sawit. “Ada beberapa hal, seperti masalah jumlahnya, beberapa lahan sawit yang masuk hutan lindung dan kawasan gambut. Akan kita benahi, ini harus dicari solusinya kan, tidak boleh dibiarkan seperti ini,” jelas Luhut seperti dilansir Antara.

Terdapat beberapa permasalahan di sub sektor sawit dan ada 5-6 kriteria yang harus dipenuhi para pemangku kebijakan. Luhut menjelaskan, menurut Bank Dunia dan BPK sama angkanya, kira-kira 81% (perkebunan sawit) tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada, baik mengenai jumlah luasan dan areanya, plasma, dan lainnya. “Sekarang kita sedang memenuhi kriteria tersebut, dan apa saja ketentuannya, nantinya ada lima orang menteri akan lapor kepada Presiden dan akan diadakan ratas,” kata Menko Luhut.

Terkait pengaruh kampanye hitam bagi sub sektor sawit di dalam negeri, Menko Luhut mengatakan hal itu memang cukup berpengaruh, namun demikian pemerintah telah mempersiapkan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan agar Indonesia tidak lagi bergantung dengan pihak lain. “Presiden akan mengarahkan untuk melakukan studi lebih lanjut dan juga apa saja turunannya (sawit) dan ini ditujukan supaya kita tidak bergantung dengan orang lain,” jelas Luhut.

Menurut Luhut, kebijakan yang diambil pemerintah terkait hal itu sudah bagus, seperti biodiesel 20% (B20), B30, juga B100, sehingga pasar sawit Indonesia tidak bergantung kepada Eropa saja. “Kampanye hitam ini kan kita disangka deforestasi, tak benar itu, yang benar kita itu justru penghasil carbon credit di dunia. Sampai dengan saat ini masih pengaruh, tetapi kan sekarang kita sudah mengeluarkan kebijakan B30, dan Presiden sudah perintahkan untuk lanjut ke B50 dan lanjut ke B100,” kata Luhut.

Harmonisasi Aturan

Sementara terkait temuan BPK tersebut, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani menuturkan, pemerintah perlu melakukan harmonisasi sejumlah regulasi guna mengakhiri polemik tata kelola sawit nasional. Munculnya berbagai persoalan di subsektor kelapa sawit, seperti kewajiban plasma 20%, kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU), dan konflik lahan, dipicu oleh sejumlah regulasi yang bersinggungan dan tidak sinkron antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Pemerintah perlu melakukan harmonisasi antara regulasi agar tidak saling bertabrakan dan menahan pernyataan-pernyataan yang bisa memicu kontraversi. Membangun citra positif sawit di dalam negeri seharusnya menjadi prioritas ditengah tekanan pasar global terhadap industri sawit Indonesia. “BPK seharusnya bisa memanggil perusahaan-perusahaan yang dianggap melanggar sejak awal menemukan adanya indikasi pelanggaran sehingga masalahnya tidak melebar,” kata dia.

Di sisi lain, pemerintah perlu menahan diri dan tidak terperangkap dengan membuat pernyataan-pernyataan kontroversi yang dapat membuat citra komoditas sawit semakin terpuruk di pasar global. Hanya saja karena sudah terlanjur, BPK perlu bijaksana dan menjelaskan regulasi yang menjadi dasar kebijakan penyebutan sekitar 81% perkebunan sawit tidak mematuhi tata kelola sawit dan harus mengakhiri polemik tersebut.

Manggabarani menuturkan, saat ini pemerintah tengah bekerja keras membangun kampanye positif sawit di pasar global sehingga polemik tata kelola sawit di dalam negeri idealnya harus diakhiri. “Ini bukan soal benar
atau salah, tapi harus dilihat dan dipertimbangkan dasar regulasi yang dipakai (BPK) agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan menjadi keterlanjuran yang sulit diperbaiki. Apalagi semua regulasi tidak berlaku surut,” kata Achmad Manggabarani.

Kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma misalnya, ada sejak 2007 seiring terbitnya Permentan No 26 Tahun 2007 yang mengacu UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma 20% dari luas konsesi. “Jadi swasta yang membangun kebun sebelum 2007 tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan itu tidak berlaku surut. Tapi, ada persepsi yang keliru seolah-olah banyak PBS dan PBN tidak mentaati peraturan itu,” kata dia.

Persoalan lain adalah kewajiban plasma 20% mempunyai telaah dan versi yang berbeda-beda antarinstansi. Ada instansi yang mengatur bahwa plasma 20% dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam. Regulasi yang terbit belakangan juga ikut memicu persoalan baru di perkebunan sawit. Sejak awal, kebun sawit berasal dari Area Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disertifikatkan menjadi HGU. Persoalannya, tiba-tiba muncul pascar-egulasi kehutanan yang mengubah tata ruang dan menetapkan kawasan HGU itu menjadi hutan lindung. Konflik seperti ini terjadi di banyak provinsi, salah satunya Kalimantan Tengah.

Sertifikat Indonesian Sustainable palm oil (ISPO) juga menjadi komitmen dari perkebunan sawit di Indonesia untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan. Hingga kini, setidaknya ada 3-4 juta hektare (ha) perkebunan sawit besar telah bersertifikat ISPO. “Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, banyak persyaratan yang harus ditaati termasuk lahan yang clear and clean. Karena itu, klaim 81% perkebunan tidak mengikuti tata kelola perkebunan sawit agak diragukan karena tidak sejalan dengan kebijakan lain yang diberlakukan pemerintah melalui ISPO,” jelas dia.

Sumber: Investor Daily Indonesia