Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melepaskan areal untuk perkebunan sawit dari kawasan hutan seluas 5.418.413 hektare (ha) guna mendukung pembangunan nasional dan peningkatan kesejahtraan masyarakat melalui subsektor perkebunan.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto di Jakarta, sebagaimana disalin dari Antara, mengatakan pelepasan kawasan hutan tersebut dilakukan dari tahun 1987 sampai dengan akhir tahun 2018.
“Berkenaan dengan pembukaan kawasan hutan seluas 2 juta ha di Provinsi Kalimantan Tengah untuk perkebunan sawit. perlu disampaikan bahwa menurut data KLHK, untuk provinsi tersebut telah dilepaskan kawasan hutan seluas 978.355 ha,” kata Sigit
Pelepasan kawasan ini adalah pelepasan kawasan hutan untuk perijinan perkebunan lama yang masih dalam proses. Secara nasional terdiri dari permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyelesaian perbedaan tata ruang seluas 1.287.145 ha, serta pelepasan kawasan hutan dari permohonan reguler seluas 1.687.384 ha.
Sehingga total permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perijinan perkebunan yang sedang diproses secara nasional seluas 2.974.529 ha. Untuk Provinsi Kalimantan Tengah, ia mengatakan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang telah menjadi kebun kelapa sawit akibat perbedaan tata ruang seluas 1.024.432 ha dan permohonan reguler seluas 40-3.519 ha. Sehingga seluruh perijinan yang sedang diproses di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1.4-27.951 ha bukan 2 juta hektar sebagaimana diinformasikan Dinas Provinsi tersebut.
Sigit juga menjelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan yang dilepas untuk perkebunan diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)Nomor60 Tahun 2012 Jo. PP Nomor 104 Tahun 2015 rang menyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat dilepas adalah kawasan hutan yang ndak berhutan (tidak produktif), hal ini untuk mencegah terjadinya deforestasi.
kemudian, untukmcm-perkuat pencegahandeforestasimaka diterbitkan Instruksi Presiden (lnpres)8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perijinan Perkebunan Kelapa sawit Serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Inpres tersebut menyatakan bahwa permohonan perkebunan sawit baru ditunda (moratorium) selama 3 tahun yang dipergunakan untuk mengevaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit yang telah dilepaskan dari kawasan hutan agar lebih produktif dan ai eal perkebunan yang masih berupa hutan dikembalikan menjadi kawasan hutan.
Kemudian sebagai tindak lanjut pengaturan pelepasan kawasan hutan, ia mengatakan KLHK menerbitkan Peraturan Menteri IHK Nomor P.96/MEN-LHK/SETJEN/KUM.l /11 /2 018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Di- konversi, yang menyatakan antara lain, permohonan pelepasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (H-PK) untuk perkebunan kelapa sawit yang teiah diajukan sebelum berlakunya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 hanya dapat diproses pada kawasan HPK yang tidak berhutan (tidak produktif).
Dengan adanya kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 104 Tahun 2015, Inpres Nomor 8 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri LHK Nomor P.96/MENLHK/SE-TJEN/KUM. 1/11/2018, yang sangat menekankan pencegahan deforestasi, maka kebijakan tersebut merupakan langkah koreksi (corrective action) dari regulasi sebelumnya untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam tindakan pengendalian perubahan iklim untuk menurunkan e-misi (gas rumah kaca) sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan Paris yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Sebelumnya, petani swadaya terpukul akibat harga minya sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang terus mengalami tren penurunan hingga November 2018. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu memproduksi sawit, karena harga jualnya rendah sementara biaya produksinya tinggi. Ketua Serikat Petani Kelapa sawit Mansuetus Darto mengatakan selama ini petani swadaya menjual hasil panen sawit kepada tengkulak. Dari tengkulak, baru kemudian sawit akan dijual kepada perusahaan minyak sawit.
Sumber: Harian Ekonomi Neraca