Pemerintah masih terus mengkaji besaran tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Pasalnya, hingga saat ini harga CPO di pasar global masih berfluktuasi dan pemerintah juga harus mempertimbangkan aspirasi petani.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, belum ada keputusan terkait besaran pungutan ekspor untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS) pada Maret mendatang. Sementara terkait pengambilan keputusan, pihaknya masih membutuhkan rapat satu kali lagi.
“Lagi kajian. Lagi dibuat kajian dulu. Iya nanti kita lihat perkembangannya karena harganya fluktuasi. Kita lihat juga ada aspirasi dari para petani. Karena harganya juga kan setelah sekian lama rendah sekali. Nanti kita lihat, karena harganya fluktuatif sekali,” kata Enggar usai rakor di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Senin (25/2).
Pada kesempatan sama, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Muzdalifah Machmud mengatakan, masih ada banyak tantangan untuk ekspor CPO, sehingga perlu dikaji kembali penetapan besaran tarif pungutan, dengan mempertimbangkan posisi (Indonesia) sebagai negara pembeli atau penjual.
“Saat ini kita menghadapi banyak sekali tantangan untuk menjual, posisi kita sekarang ini kan masih terjepit dari mana-mana, seperti Uni Eropa.
Lalu kita juga melihat kondisi di hulu seperti apa. Kalau kita naikkan pungutan, bagaimana dengan petani,” kata Musdhalifah.
Saat ini, dia memastikan belum memiliki rencana terkait perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang pungutan ekspor kelapa sawit dan masih akan mengkaji apakah nanti PMK memang perlu diubah atau tidak, sekaligus juga akan mempertimbangkan kondisi fluktuatif harga CPO.
“Belum ada (rencana perubahan PMK) sih, masih mau dilihat, analisa dulu. Karena posisi kita sekarang ini kan masih terjepit dari mana-mana kan. Kita diomongin apalah, pungutan yang kadang-kadang diskriminatif sama Indonesia. Kita melihat di hulunya, dimananya, supaya nanti kita saat ambil kebijakan baru itu tidak mengganggu,” ujarnya.
Pemerintah juga masih mengkaji dan menkoordinasi risiko kedepan serta tantangan yang akan dihadapi dalam konteks perdagangan CPO saat ini. Hal ini dilakukan dengan melihat apakah sudah melakukan hilirisasi.
Dia menambahkan, besar kecil pungutan yang diatur melalui PMK nantinya Indonesia tetap akan ekspor CPO dan produk turunannya. “Tetap harus ekspor, kalau nggak, siapa yang mau beli (ke) petani kita. Meskipun kita naikkan pungutan kan, bagaimana dengan petani. Meskipun misalnya kita turunkan, kita kan tetap harus ekspor terus, (sementara) produksi naik,” kata dia.
Di sisi lain, Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS) Rusman Heriawan mengatakan, pihaknya bersama stakeholder terkait akan melakukan kajian singkat terhadap harga TBS yang ideal dalam tiga hari ke depan.
Menurutnya, pengenaan kembali pungutan ekspor sawit harus dilakukan secara hati-hati. Hal ini untuk melindungi kepentingan petani sawit, mengingat harga tandan buah segar (TBS) masih rendah di kisaran Rp 1.400 per kilogram (kg).
“Kami sedang melakukan kajian cepat harga ideal bagi TBS meskipun belum ada di PMK (152/2018) tapi rasanya lebih elok jangan sampai (harga) CPO oke tetapi TBS jelek,” ujarnya.
Sebagai informasi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/ PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018 menyatakan pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan ekspor apabila harga CPO internasional berada di bawah US$ 570/ton. Selanjutnya, bila harga CPO sudah kembali di atas US$ 619 per ton, besaran pungutan sawit kembali ke level US$ 50 per ton.
Di samping mengatur pungutan ekspor CPO, Peraturan Menteri Keuangan ini juga menetapkan besaran pungutan ekspor turunan pertama dan kedua dari komoditas tersebut.
SUmber: Investor Daily Indonesia