JAKARTA – Pemerintah dan masyarakat diharapkan ikut berperan aktif mendorong peningkatan promosi positif terhadap minyak sawit. Terlebih lagi, sumbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) terhadap devisa negara mencapai rata-rata lebih dari 15 miliar dollar AS setiap tahun.

“Banyak pihak yang tidak mengenal produksawittetapi berbicara negatif tentang sawit. Akibatnya, opini negatif komoditas itu telah merasuk di pemikiran generasi muda Indonesia sejak dari rumah hingga pendidikan,” kata Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono di lakarta, beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, lanjutnya, sudah waktunya semua pihak melakukan riset-riset ilmiah agar tidak terlalu cepat mendiskreditkan produksi minyak kelapasawitsebagai produk yang tidak ramah lingkungan.

Sebelumnya Sekjen Gabungan Pengusaha KelapasawitIndonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menyatakan, pola transmigrasi dan perkebunan kelapasawitmerupakan program pemerintah yang sukses di tahun 1980-an. Kedua program ini mampu membuka keter-isoliran daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk sehingga berdampak pada pemekaran wilayah.

“Kalau dilihat historisnya, 4 dari 5 pemekaran di tingkat kabupaten di Indonesia merupakan wilayah transmigrasi yang penduduknya menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit,” kata Togar pada peluncuran dan diskusi buku bertema Privatisasi transmigrasi dan kemitraan plasma menopang industrisawitdi Jakarta, Kamis pekan lalu.

Keterbatasan Program

Namun, lanjutnya, karena berbagai keterbatasan program transmigrasi serta perkebunan kelapa sawit hanya mengikuti kondisi saat itu sehingga ada regulasi tertinggal dengan kondisi lapangan, akibatnya, sejumlah pihak menilai terjadi diskriminasi.

Togar mencontohkan, pada 1980-an, saat pengembangan awal, perusahaan sawit selalu harus mampu menyeimangkan antara luasan areal, kemampuan produksi TBS serta kapasitas pabrik. Perusahaan sawit berinvestasi berdasarkan kemampuan mereka. Jika memiliki 5.000 ha lahan maka pasokan yang dibutuhkan adalah 30 ton TBS perjam.

Saat itu, tambahnya, perusahaan hanya menggantungkan pasokan dari petani plasma karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik serta petani mandiri belum berkembang.

Menurut Togar, kalaupun akhirnya perusahaan sawit menerima pasokan petani mandiri harganya pasti berbeda. Hal itu karena harga plasma dihitung berdasarkan harga rata-rata 2-3 bulan lalu, sementara itu, harga mandiri dihitung berdasarkan harga saat ini.

Togar mengingatkan, semua pihak tidak hanya menggantungkan pembenaran atas pendapatnya hanya pada satu buku atau riset tertentu saja. “Perlu banyak riset dan referensi untuk memperkaya pemahaman mengenai sawit,” katanya.

 

Sumber: Koran Jakarta