Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyatakan pemerintah serius menggarap riset terkait bahan bakar terbarukan dari minyak sawit untuk kemandirian energi dari dalam negeri.
Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir di Depok, Jawa Barat, Jumat (22/2) mengatakan pentingnya hasil penelitian di bidang sumber energi baru terbarukan untuk menggantikan bahan bakar berbasis fosil yang di Indonesia sebagian kebutuhannya masih impor.
“Mengapa renewable energy (energi terbarukan, red) ditekankan, karena energi, khususnya bahan bakar minyak, satu hari kalau kita impor sekitar 400 ribu barel per hari. Satu tahun sekitar 17,6 miliar dolar AS atau setara Rp250 triliun. Ini terjadi uang kita menguap begitu saja,” katanya.
Karena itu. Nasir menekankan pentingnya riset di bidang energi untuk menghasilkan sumber energi berbahan dasar tanaman agar Indonesia terbebas dari impor minyak.
Dijelaskannya, saat ini penelitian terkait bahan bakar terbarukan sedang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghasilkan bahan bakar yang bersumber dari minyak sawit.
Menristekdikti mengemukakan potensi minyak sawit untuk dijadikan bahan bakar sangat besar. Di samping Indonesia merupakan salah satu negara yang memproduksi sawit terbesar, penelitian yang tengah dilakukan memungkinkan penggunaan minyak nabati secara 100 persen menjadi bahan bakar.
Nasir menjelaskan, jika saat ini pemerintah telah menerapkan kebijakan bahan bakar diesel wajib menggunakan minyak nabati dengan kandungan 20 persennya, ke depannya dengan penelitian yang dilakukan bisa menjadi 100 persen penggunaannya untuk bahan bakar.
“Pada Februari ini saya sudah uji coba. Maret akan saya cek lapangannya, yaitu di Pertamina Cilacap untuk green avtur, dan Pertamina Dumai untuk green diesel.” katanya.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 38/2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 telah memetakan 10 riset prioritas yang harus dikembangkan di Indonesia.
Dari ke-10 riset prioritas tersebut, penelitian tentang energi baru terbarukan termasuk di dalamnya.
Sementara riset yang diprioritaskan lainnya adalah mengenai pertanian dan pangan, kesehatan dan obat-obatan, teknologi informasi, transportasi, material maju seperti teknologi nano, teknologi pertahanan, maritim dan kelautan, manajemen kebencanaan, serta sosial budaya dan pendidikan.
Sebelumnya, hasil inovasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Nalitbang Ke-mentan) membuktikan penggunaan ba-han bakar biodiesel 100 persen (B100) lebih hemat hingga 40 persen per liter daripada menggunakan biosolar.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam kunjungannya ke Balai Penelitian Tanaman Industri Penyegar, tempat pengolahan B100 di Sukabumi. Kamis (21/2) memaparkan, pemanfaatan B100 sebagai bahan bakar dari kelapa sawit bisa menempuh jarak 13,1 kilometer per liter, sedangkan biosolar hanya menempuh 9,6 kilometer per liter.
Disampaikannya, minyak kelapa sawit yang diolah menjadi bahan bakar kendaraan dengan kandungan 100 persen ini dihargai Rp8.OOO per liter. Sementara itu. jika dibandingkan dengan biosolar berkisar Rp9.8OO sampai Rp 10.000 per liter.
“Artinya jika dihitung per kilometer, kalau menggunakan bahan bakar
fosil biayanya sekitar Rp 1.000, sedangkan menggunakan biodiesel hanya Rp600 per km. Artinya ini menghemat 40 persen biaya bahan bakar,” terangnya.
Amran menilai bahwa penggunaan bahan bakar B100 Iebih murah dari segi biaya, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan harga tandan buah segar di tingkat petani. Selain itu, energi ramah lingkungan ini bisa menghemat devisa karena Indonesia tidak perlu lagi mengimpor BBM energi fosil.
Sumber: Analisa