Pemerintah tengah bernegosiasi dengan Uni Eropa agar membatalkan rencana penerapan bea masuk anti subsidi biodiesel. Jika tak ada kesepakatan yang menguntungkan, pemerintah akan menggugat proteksi tarif Uni Eropa ini ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tudingan Uni Eropa yang menyebut pemerintah memberi subsidi kepada produsen minyak sawit tak berdasar. Menurut dia, insentif untuk pengusaha sawit berasal dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS). “Dana itu dipungut dari pengusaha sawit, kemudian disalurkan untuk pengembangan industri sawit,” kata dia seusai Dialog Industri yang digelar Tempo bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Hotel Borobudur, kemarin.

Menurut Darmin, Uni Eropa mencari-cari alasan untuk menekan Indonesia lantaran produk minyak nabati mereka kalah bersaing. Dia mengatakan perkebunan sawit jauh lebih produktif dibanding ladang bunga matahari atau kedelai. Produktivitas bunga matahari hanya 0,6 ton per hektare dan kedelai hanya 0,4 ton per hektare. Adapun dalam 1 hektare perkebunan kelapa sawit bisa menghasilkan 4 juta ton minyak.

Darmin menyatakan pemerintah telah memiliki bukti-bukti untuk menyanggah segala tudingan Uni Eropa. Diskusi dengan pemerintah Uni Eropa terus dilakukan untuk mencapai kesepakatan. Jika Indonesia tak diuntungkan hingga keputusan resmi penerapan bea masuk antisubsidi berlaku, dia memastikan akan membawa kasus ini ke forum WTO.

Darmin percaya diri melawan Uni Eropa karena belajar dari pengalaman. Uni Eropa pernah menerapkan bea masuk antisubsidi untuk biodiesel asal Indonesia dan Argentina pada 2013.Indonesia menggugatnya ke WTO dan berhasil membuktikan tak ada subsidi yang diberikan pemerintah untuk pengusaha sawit.

Uni Eropa berencana memungut bea masuk karena menganggap eksportir biodiesel Indonesia menerima subsidi dari pemerintah. Badan Biodiesel Eropa menyelidiki dugaan tersebut sejak September 2018 dan menyimpulkan pemerintah memberikan insentif pajak yang besar untuk ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya sehingga mempengaruhi harga jual biodiesel Indonesia.

Uni Eropa menyatakan akan menerapkan pungutan bea masuk karena pemberian subsidi menyalahi aturan perdagangan dunia. Kebijakan itu akan diberlakukan sementara pada 6 September 2019 dan berlaku definitif pada 4 Januari 2020. Bea masuk akan diterapkan untuk empat produsen biodiesel Indonesia dengan tarif bervariasi. Minyak sawit produksi PT Ciliandra Perkasa dikenakan tarif sebesar 8 persen, produk Wilmar Group terkena bea masuk 15,7 persen, Musim MasGroup 16,3 persen, dan Permata Group 18 persen.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, Paulus Tjakrawan, mengatakan pungutan bea masuk dapat mengganggu ekspor sawit yang tengah melonjak. Ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa meningkat dari US$ 116,7 juta pada 2017 menjadi US$ 532,2 juta pada 2018. Pada kuartal I 2019, ekspor biodiesel mencapai 173.543 kiloliter. Mayoritasnya disalurkan ke Uni Eropa dan Cina.

Paulus mengatakan pungutan yang diterapkan Uni Eropa terlalu tinggi. Menurut dia, batas tarif bea masuk yang bisa ditoleransi, yakni 5 persen. “Kalau setelah diskusi tarifnya bisa turun dari yang ditentukan, kami bisa tetap ekspor,” katanya.

Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Roeslani, mengatakan tekanan dari Uni Eropa terhadap produk sawit Indonesia perlu segera ditanggapi untuk menolong industri dalam negeri. “Eropa berusaha menjaga petani mereka. Ini menjadi tantangan, karena Eropa adalah pasar yang besar untuk minyak sawit Indonesia,” katanya.

Menurut Rosan, salah satu cara produsen sawit untuk bertahan ialah program pencampuran minyak sawit dengan solar hingga 100 persen atau B100. Pengusaha, kata dia, bisa saja mencari pasar ekspor baru tapi prosesnya tak cepat dan tak mudah. “Negara lain pun turut berburu. Kecepatan negosiasi perdagangan bebas oleh pemerintah juga sangat berpengaruh,” kata dia.

 

Sumber: Koran Tempo