Komoditas perkebunan kelapa sawit telah membuktikan diri memberikan dampak positif pada dunia ketenagakerjaan, meski begitu pengusaha dan pekerja wajib hormonis agar bisa menuju sustainability (keberlanjutan).
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menurut data Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2017 menunjukkan terdapat 60,08% angkatan kerja Indonesia berpendidikan SLTP kebawah. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka masih didominasi angkatan kerja dengan tingkat pendidikan SLTP ke bawah dengan total sebanyak 2,64 juta.
Tingkat pendidikan ini masih dijadikan sebagai salah satu indikator bagi pekerja yang ikut bersaing dalam memperoleh kesempatan bekerja, memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Meski begiktu, sektor perkebunan masih sebagai tempat yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar dibandingkan sektor lainnya, salah satunya pada perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan catatan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) bahwa jumlah pekerja pada industri kelapa sawit selalu meningkat setiap tahunnya, seperti pada tahun 2000 dari 2,1 juta orang menjadi 8,2 juta orang di tahun 2016.
“ini artinya jumlah pekerja di sektor perkebunan tidaklah main-main,” kata Haiyani Rumondang, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dalam acara International Conference and Expo – Indonesian Sustainable palm oil (ICE-ISPO) di Jakarta.
Sehingga, Haiyani mengakui, suka tidak suka kondisi hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan hanya bisa dicapai jika pengusaha dan pekerja bisa saling bahu-membahu menggerakkan roda perusahaan dengan baik. Untuk mencapai kondisi hubungan industrial yang ideal, sudah tentu harus ada pengaturan syarat kerja yang baik yang menjadi acuan utama dalam bekerja.
“Sebab didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pun telah dijelaskan tentang ketenagakerjaan dan peraturan turunannya telah memberikan rambu-rambu terhadap penyelenggaraan ketenagakerjaan, syarat kerja, upah, waktu kerja waktu istirahat, perlindungan dan jaminan sosial dan pengaturan terhadap penyelenggaraan sarana hubungan industrial yang baik,”jelas Haiyani.
Tapi, Haiyani pun mengakui, sektor perkebunan dan industri pengolahan minyak sawit juga mempunyai resiko yang berbeda dengan perusahaan pada umumnya. Potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan pada sektor perkebunan sawit seperti modernisasi pertanian dengan penggunaan racun-racun hama dan pemakaian alat baru. Atas dasar itulah pelaku usaha wajib menyediakan fasilitas K3 seperti penggunaan alat perlindungan diri dalam bekerja.
Tidak hanya itu, banyak anak-anak yang bermain-main disekitar kebun, disaat orang tuanya sedang bekerja. Memang, meskipun anak-anak tersebut tidak bekerja, tapi sebagian pihak seperti Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO) asing sering memanfaatkannya untuk black campaign (kampanye negatif).
Padahal tidaklah mungkin kedua orang tuanya menyuruh anak-anaknya yang masih kecil bekerja dikebun. “Undang-Undang Ketenagakerjaan pun tidak membolehkan pekerja anak, oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan lebih optimal mengenai hal dimaksud,” papar Haiyani.
Lebih dari itu, Haiyani membenarkan bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, Pemerintah Indonesia telah menetapkan standar nasional minyak sawit yaitu Indonesian Sustainable palm oil (ISPO). Didalam prinsip dan kriteria ISPO itu pun juga dijelaskan akan larangan untuk memperkerjakan anak dibawah umur.
“Jadi pada prinsip ke-4 ISPO mengatur mengenai tanggung jawab terhadap pekerja, yaitu keselamatan dan kesehatan kerja. Lalu, kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja. Didalamnya dijelaskan larangan perusahaan perkebunan mempekerjakan anak dibawah umur dan melakukan diskriminasi sesuai peraturan perundang-undangan,” urai Haiyani.
HARUS ADA SERIKAT PEKERJA
Disisi lain, Haiyani mengingatkan, yang tidak kalah penting yaitu, perusahaan perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak pekerja. Perusahaan perkebunan harus mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja dan karyawan.
“Serikat Pekerja dan Koperasi Karyawan penting agar posisi pekerja kuat dan meningkatkan kesejahteraan karyawannya,” himbau Haiyani.
Tapi, Haiyani menyayangkan, pihaknya pernah mendapatkan laporan bahwa pekerjaan di sektor perkebunan sawit mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sektor-sektor lain, yang identik dengan pekerjaan musiman dan menyerap lebih banyak tenaga kerja yang rendah keterampilan dan pendidikan.
Janganlah hubungan pekerja atau buruh di sektor perkebunansawityang sebagian besar dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), termasuk harian lepas. Hal-hal seperti ini harus segera dibenahi.
“Sebab, hal-hal tersebut bisa mempengaruhi penggunaan produk sawit Indonesia dan akan sangat mempengaruhi kelangsungan industri sawit yang tentu saja mempengaruhi secara langsung penggunaan tenaga kerja di Indonesia,” saran Haiyani.
Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, Haiyani berharap, industri bisa menyelesaikan permasalahan tersebut agar tercipta industrial yang kondusif dalam rangka meningkatkan kepercayaan negara-negara importir kelapa sawit.
Adapun caranya yaitu pertama, peningkatan pemahaman hak- hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja melalui sosialisasi, workshop, dan lainnya. Kedua, peningkatan komunikasi antara pekerja atau buruh dengan pengusaha dan antara Dinas yang membidangi ketenagakerjaan dengan pengusaha maupun pekerja ataupun buruh.
Ketiga, mengefektifkan mekanisme Bipartit sebagai rohnya hubungan industrial untuk meningkatkan syarat kerja, sehingga hak-hak para pihak terlindungi yang selanjutnya dapat menjaga kelangsungan berusaha dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh.
Keempat, meningkatan kualitas syarat-syarat kerja serta Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Kelima, koordinasi dan komunikasi seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan membentuk forum (pekerja atau buruh red). Keenam, yang tidak kalah penting yaitu Dinas Ketenagakerjaan Provinsi harus melakukan pengawasan yang lebih intensif untuk penegakan ditaatinya peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.
“Semua itu perlu dilakukan dalam rangka menghadapi persaingan bebas, sehingga perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia disektor perkebunan kelapa sawit,” tegas Haiyani.
MENJADI SASARAN TEMBAK
Sementara itu, Sumarjono Saragih, Ketua Bidang KetenagakerjaanGapkimengakui meski komoditas kelapasawittelah membuktikan diri dapat mengubah ekonomi masyarakat, tapi tidak sedikit pihak yang menyoroti ketenagakerjaan di sektor perkebunan, khususnya kepada anggota GAPKI.
Padahal luas kebun yang dimiliki oleh anggotaGapkihanya 3,6 juta hektar atau sekitar 31 persen dari total luas perkebunan kelapasawityang ada saat ini mencapai 11,9 juta hektar..
“Jadi kita selalu menjadi sasaran tembak paling utama. Konsekuensi logis sebagai stake holder utama dan korporasi besar dan menengah,” papar Sumarjono.
Artinya Sumarjono juga mengakui, bahwa indutsri kelapasawitharus segera dibenahi dan mengklarifikasi jika memang hal-hal tersebut tidak dilakukan. Hal ini perlu dilaksanakan jika tidak ingin komoditas kelapa kelapasawitmati seperti komoditas perkebunan lainnya.
Salah satunya komoditas perkebunan tebu, yang dahulu Indonesia sempat menjadi eksportir gula tapi kini menjadi importir. Apakah kelapa sawit ingin seperti itu?
“Sebab pihak luar sudah menyiapkan cawan emas yang berisi segudang racun yang bila dikonsumsi oleh kita, maka kita akan segera mati,” himbau Sumarjono.
Melihat semua itu, Sumarjono mengajak semua pelaku serta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk bersama sama melawannya. Ini karena yang merasakan dampaknya dari kelapa sawit tidak hanya masyarakat tapi juga Pemerintah Pusat dalam bentuk devisa negara dan juga Pemda dalam bentuk pembangunan daerah dari dana CSR pelaku usaha.
“Jadi yang belum bergabung dengan Jaringan Pekerja-Petani sawit Indonesia, mari bergabung untuk menyuarakan suara pekerja dan petani kelapa sawit Indonesia untuk kemajuan kelapa sawit di Indonesia,” pungkas Sumarjono.
Sumber: Media Perkebunan