Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) target untuk bisa meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) ke India hingga 7 juta ton.

“Kita harapkan bisa kembalikan India yang selama ini sebagai importir CPO paling tinggi. Kita harapkan ekspor ke sana bisa kembali ke 7 juta ton,” ungkap Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono di Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Mukti mengatakan, India sejauh ini memang merupakan importir minyak kelapa sawit terbesar. Pada 2017, Negeri Bollywood ini mendatangkan sebanyak 7 juta ton CPO, namun menurun 300 ribu ton menjadi 6,7 juta ton pada 2018.

Adapun terpangkasnya jumlah impor pada tahun lalu disebabkan oleh pengenaan bea masuk terhadap produk CPO ke India yang meninggi dari 30 persen menjadi 45 persen, serta produk turunannya dari 40 persen jadi 50 persen per 1 Maret 2018. Kebijakan tersebut sengaja dibuat guna melindungi industri minyak nabati domestik di negara itu.

Menyikapi situasi ini, Pemerintah RI sebenarnya telah memancing India agar bisa bernegosiasi untuk menurunkan bea masuk CPO. Yakni dengan memangkas tarif bea masuk produk gula mentah (raw sugar) yang didatangkan dari India menjadi 5 persen.

Oleh karenanya, Mukti meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan untuk bernegosiasi memberi kelonggaran terhadap tarif bea masuk produk CPO dari Indonesia ke India.

“Yang jelas Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita) harus bisa lobi mereka. Itu kan antara dua negara nih, kita sudah beri kelonggaran biar gula dari India bisa masuk,” ujar dia.

“Mestinya mereka juga beri kelonggaran supaya impor tarifnya bisa turun. Paling enggak sama dengan Malaysia. Kita kena 45 persen (untuk produk CPO), dia kena 40 persen,” tandasnya.

Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pemerintah untuk melanjutkan kebijakan pungutan ekspor sawit.

Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat ME Manurung mengatakan, dana pungutan telah dirasakan petani melalui berbagai kegiatan seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), beasiswa anak petani serta buruh sawit, dan pelatihan kompetensi petani.

“APKASINDO tegaskan pungutan ekspor harus dipertahankan. Karena program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional serta daerah,” ujar dia di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Dia menilai pungutan sangat berdampak positif bagi petani. Sejak pertengahan 2015, dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sangat bermanfaat bagi para petani khususnya.

Sebagai contoh, ada 10 ribu petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 116 Kabupaten/Kota yang mendapatkan pelatihan teknis berkebun.

Terkait program beasiswa, ada 1.500 anak-anak petani di 22 provinsi menerima beasiswa pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE.

Selain itu, dana pungutan juga dimanfaatkan bagi pengembangan riset dan kegiatan promosi sawit di dalam serta luar negeri.

Adapula lebih dari 50 ribu hektar lahan petani sudah mendapatkan hibah Rp25 juta per hektare untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

“Yang harus dicatat, PSR ini kebijakan strategis pemerintahan Joko Widodo dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Program tersebut dapat terjadi karena Presiden menerbitkan Perpres 61 Tahun 2015 dan berdirinya BPDP-KS. Selama negara ini berdiri, belum ada kebijakan strategis seperti itu,” tegas dia.

Gulat juga membantah pernyataan yang menyebut jika pungutan ekspor menjadi biang keladi turunnya harga tandan buah segar (TBS) sawit petani belakangan ini. Itu sebabnya, pungutan ekspor perlu diberlakukan kembali walaupun besarannya perlu disesuaikan.

“Sebab lagi-lagi saya katakan, PE (pungutan ekspor) tidak ada kaitannya dengan penurunan harga TBS petani,” kata dia.

Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Rino Afrino mengungkapkan, pungutan ekspor sawit telah ditunda penerapannya sejak Desember 2018. Artinya sampai hari ini tidak ada pungutan yang dilakukan pemerintah.

Namun apa yang terjadi, harga TBS sempat bergerak naik sampai Februari 2019 dan selanjutnya menukik turun sampai hari ini. “Jadi tidak ada relevansinya antara pungutan ekspor dengan harga TBS yang rendah belakangan ini” ungkap dia.

Menurut dia, yang membuat harga TBS petani terus melorot justru mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga TBS di lapangan yang rancu. “Sudah rancu, penerapan sanksi pun tidak ada,” lanjut dia.

Padahal, lanjut dia, dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 Tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun sudah memiliki aturan main yang jelas.

Rino mencontohkan dalam Pasal 4 Permentan dikatakan perusahaan perkebunan membeli TBS pekebun/petani mitra melalui kelembagaan pekebun.

“Ini artinya, pabrik mesti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan malahan pengepul dan tengkulak yang merajai,” tandas dia.

Sumber: Liputan6.com