RMOL. Pengusaha meminta pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.87/2013 tentang pemberlakuan SNI 7709: 2012 Minyak Goreng (migor) Sawit. Regulasi yang mengatur wajib vitamin A pada migor itu dinilai diskriminatif dan berpotensi tidak akan efektif.

Direktur Eksekutif Gabun­gan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Si­naga mengatakan, pihaknya tidak yakin aturan tersebut akan berjalan lancar. “Iya, kami ragu aturan fortifikasi atau penamba­han vitamin A untuk migor ini di lapangan lancar,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka,kemarin.

Menurutnya, masih ada perde­batan di masyarakat soal efek­tivitas fortifikasi vitamin A pada minyak goreng sawit. “Isu ini terkait dengan stabilitas vitamin A mulai dari pabrik sampai ke retailer dan retensi vitamin A pada saat penggorengan,” ungkapnya.

Ia mengatakan, kandungan fortifikan (vitamin A, beta karo­ten) minyak goreng sawit pasca pabrik sampai konsumen lebih rendah dari SNI7709: 2012 Minyak Goreng Sawit. “Pro­dusen minyak goreng Sawit yang mencantumkan label SNIdapat dituduh sebagai pembo­hongan publik dan berpotensi menghadapi gugatan hukum dari masyarakat,” tuturnya.

Sahat mengungkapkan, adanya kalimat “dengan penambahan vitamin A” pada SNI7709: 2012 Minyak Goreng Sawit juga dis­kriminatif. “SNI minyak goreng non sawit seperti minyak goreng kelapa (SNI-01-3741-2002), minyak goreng kedelai (SNI01- 4466-1998) tidak diwajibkan pe­nambahan vitamin A,” katanya.

Ia mengatakan, alasan lain pihaknya meminta revisi aturan tersebut karena kewajiban me­nambah vitamin A sintetis akan menciptakan ketergantungan baru pada impor. “Oleh karena itu, revisi diperlukan agar se­mua pihak dapat menerima dan memahami dengan baik aturan tersebut,”  tukasnya.

Guru Besar Teknologi Pangan Institute Pertanian Bogor (IPB) Prof. Purwiyatno Hariyadi me­nyetujui usulan revisi SNI forti­fikasi vitamin A minyak goreng sawit. Hal itu untuk memberikan ruang inovasi kepada produsen terkait penyediaan Vitamin A .

“Kalimat ‘penambahan vita­min A’ akan menambah beban produsen minyak goreng karena pasca fortifikasi diwajibkan, setiap tahun mereka harus impor vitamin A,” ujarnya.

Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Pol­icy Institute (Paspi) Bungaran Saragih meminta, pemerintah untuk menggandeng swasta untuk menyelesaikan persoalan fortifikasi ini. “Masyarakat mungkin belum melihat pent­ing fortifikasi ini. Tetapi bahaya jika tidak mendapatkan edukasi. Disinilah peranan pemerintah,” ujarnya.

Ia mengatakan, dirinya sudah lama membahas dengan berbagai pihak masalah fortifikasi penam­bahan vitamin A pada produk minyak goreng sawit. “Pemerintah juga sudah lama mengupayakan bagaimana agar minyak goreng difortifikasi,”  katanya.

Menurut dia, pelaksanaan for­tifikasi masih terbatas selama ini lebih karena masalah bisnis dan teknologi. Sebab secara sosial tidak ada masalah. Begitupun secara politik fortifikasi sangat positif karena negara meng­inginkan rakyatnya sehat.

“Yang jelas berdasarkan statis­tik Kementerian Sesehatan orang Indonesia kekurangan vitamin A, dan kekurangannya paling parah barangkali terburuk di dunia. Padahal kita penghasil vitamin A yang luar biasa besarnya karena ada di sawit,”  ungkapnya.

Dirjen Industri Agro Kemen­terian Perindustrian (Kemen­perin) Panggah Susanto me­nyebutkan, pihaknya sangat terbuka menerima masukan dari pakar dan asosiasi berkaitan soal kewajiban fortifikasi vitamin A minyak goreng sawit. Walaupun di sisi lain, Kemenperin ingin aturan ini berjalan secepatnya.

“Minyak goreng yang berkali-kali dipakai, dipakai lagi. Kalau tidak ada standar dan kemasan di situ dicantumkan segala macam syarat dan tanggung jawab. Maka sangat berbahaya sekali,” ujarnya.

Panggah menuturkan, ke­wajiban vitamin A di minyak goreng ini masih bisa didiskusi­kan lebih lanjut. “Silakan untuk didiskusikan, pemerintah ikut saja dan menunggu hasilnya. Kalau soal kemasan jangan diulur-ulur lagi, langsung saja dilaksanakan,” tukasnya.  ***

 

Sumber: Rmol.co