JAKARTA — Kalangan pengusaha mengapresiasi rencana pemerintah memperluas stimulus fiskal untuk sektor riil yang terkena dampak pandemi corona virus disease 2019 atau Covid-19. Namun demikian, pemerintah diminta mempercepat implementasi kebijakan stimulus tersebut dan mempermudah prosedurnya untuk mencegah sektor riil dari kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih besar. Di sisi lain, besaran stimulus ekonomi diusulkan bisa mencapai Rp 1.600 triliun.
Demikian rangkuman pandangan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, serta Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto. Mereka dihubungi Investor Daily secara terpisah pada akhir pekan lalu.
Pemerintah telah meluncurkan tiga paket kebijakan stimulus fiskal untuk menangani pandemi Covid-19 dan menjaga kesinambungan perekonomian, masing-masing senilai Rp 8,5 triliun, Rp 22,5 triliun, dan Rp 405,1 triliun. Di samping itu, kementerian/lembaga dan pemda melakukan penghematan sebesar Rp 190 triliun dan realokasi belanja Rp 55 triliun yang diprioritaskan untuk kegiatan menangani Covid-19.
Untuk membantu sektor riil, pemerintah akan memperluas sektor penerima keringanan dalam membayar pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) kepada 18 kelompok sektor usaha. Dana yang dialokasikan untuk memberikan keringanan pajak tersebut sekitar Rp 35,3 triliun, termasuk pembebasan pajak terhadap UMKM selama 6 bulan agar mereka bisa tetap bertahan hidup.
Untuk mendukung perluasan insentif tersebut, pemerintah akan segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2020 tentang insentif pajak yang diberikan kepada wajib pajak di 19 subsektor manufaktur. PMK ini mengatur insentif pajak terkait PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan PPN.
Selain pemerintah, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan moneter dan makroprudensial guna meningkatkan likuiditas perbankan. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan relaksasi persyaratan kredit/pembiayaan/penyediaan dana bagi UMKM dan restrukturisasi kredit/pembiayaan bagi UMKM.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengapresiasi langkah pemerintah memperluas stimulus ekonomi bagi sektor usaha yang terkena dampak pandemi Covid-19. “Ini sangat baik untuk mengurangi dampak wabah Covid-19 ke ekonomi, agar iklim usaha tetap kondusif,” kata dia.
Rosan mengungkapkan, perluasan stimulus ini disambut baik para pelaku usaha sebagai dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan aktivitas dunia usaha. Pasalnya, stimulus tersebut akan menopang daya tahan perusahaan atas dampak ekonomi pandemi, utamanya di sektor riil dan sektor vital lainnya.
“Gelombang PHK memang sangat mungkin terjadi, namun ini harus segera ditekan dan dihindari. Lebih jauh, kami berharap pemerintah dapat mengidentifikasi dengan rinci sektor mana saja yang harus mendapatkan stimulus,” kata Rosan.
Dia menyatakan, Kadin akan terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk menemukan solusi dan upaya penyelamatan perekonomian nasional di tengah wabah Covid-19, khususnya upaya memperkuat para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menyerap 96% tenaga kerja di Indonesia.
Senada, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan, pihaknya mengapreasiasi perluasan sektor untuk stimulus pajak, karena sesuai permintaan dunia usaha. Sebab, tidak hanya sektor industri saja yang terkena dampak wabah Covid-19, tapi juga sektor usaha lainnya.
“Semua perusahaan kena, bukan cuma manufaktur saja, ada perdagangan dan logistik, sehingga juga harus dipikirkan. Kalau tidak, nanti PHK (pemutusan hubungan kerja) akan semakin bertambah. Tetapi, dengan perluasan itu, akan mengurangi PHK,” ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (24/4) malam.
Johnny menerangkan, saat ini yang menjadi masalah bukanlah sektor-sektor mana saja yang harus diberikan stimulus. Sebab, pemerintah sudah tepat memilih 19 sektor yang layak mendapatkan stimulus. Dia menilai, yang harus dipikirkan pemerintah adalah penambahan dana stimulus. Sebab, Kadin menganggap anggaran stimulus ketiga sebesar Rp 405,1 triliun masih kurang.
Dia mencontohkan, di sektor kredit, pemerintah mengatakan ada paket tidak perlu membayar cicilan tanpa bunga. Namun pertanyaannya, jika cicilan tidak dibayar, perusahaan finansial akan kesulitan membayar ke bank dan bakal bangkrut bila tidak ada pemasukan. “Oleh sebab itu, dananya perlu ditambah,” ucap Johnny.
Dia mengatakan, pihaknya telah mengusulkan besaran dana yang diperlukan untuk stimulus ekonomi sebesar Rp 1.600 triliun. Perinciannya, sebesar Rp 600 triliun untuk bantuan langsung tunai (BLT) atau jaring pengaman sosial (social safety net), lalu Rp 400 triliun untuk kesehatan, dan Rp 600 triliun dibagi dua, yaitu untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dan sektor riil.
Saat ini hampir semua sektor usaha terkena dampak serius Covid-19. Hanya beberapa saja yang hidup seperti farmasi dan alat kesehatan. “Tetapi sektor lain pada umumnya sudah pada mau meninggal. Duitnya mau habis dan tidak punya jalan. Makanya pilihannya terpaksa PHK. Sebab itu, perlu kerja sama antara pemerintah dan pengusaha serta asosiasi,” kata dia.
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani juga meminta pemerintah meningkatkan besaran stimulus yang diberikan kepada pelaku usaha. Stimulus itu pun harus bisa dimanfaatkan atau diklaim oleh seluruh sektor usaha tanpa terklasterisasi, karena dampak pandemi Covid-19 sudah meluas.
Menurut Shinta, sejauh ini sektor-sektor yang paling terdampak Covid-19 adalah pariwisata, penerbangan, dan otomotif. Selain itu, sektor yang paling terdampak termasuk konstruksi, real estate, industri manufaktur, jasa keuangan, pendidikan, serta industri minyak dan gas, sehingga memerlukan insentif dari pemerintah.
Namun demikian, Shinta mengakui, stimulus pemerintah secara realistis tidak akan cukup untuk menyelamatkan semua sektor ekonomi nasional, karena kemampuan finansial pemerintah untuk melakukan bailout atau economic remedies terbatas. Stimulus-stimulus tersebut, lanjut dia, tidak bisa memberi dampak ekonomi sebesar yang diharapkan, seperti menahan PHK, penutupan perusahaan, dan mengompensasi semua penerimaan akibat penurunan permintaan di pasar.
“Jadi, ekspektasi terhadap efek stimulusnya pun harus diubah menjadi lebih realistis, yakni untuk menyelamatkan kegiatan ekonomi yang masih bisa diselamatkan sepanjang wabah Covid-19, meringankan sebanyak mungkin beban usaha, dan memaksimalkan kelancaran pendapatan yang masih bisa direalisasikan,” ucap Shinta.
Selain belum menyentuh semua sektor usaha yang terdampak pandemi Covid-19, Shinta mengatakan, stimulus-stimulus pemerintah memiliki masalah yang sama, yakni tidak dijalankan secara efektif dan konsisten hingga kepada pelaku usaha sektor riil sebagai penerima. Padahal, kalau pemerintah benar-benar ingin menyelamatkan kegiatan ekonomi nasional, tidak ada jalan lain selain memastikan kebijakan stimulus tersebut terlaksana dengan baik.
Untuk stimulus fiskal yang merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020, menurut Shinta, bisa dipahami, banyak sektor yang saat ini belum terbantu oleh stimulus tersebut. Pasalnya, beban finansial terbesar pelaku usaha saat ini adalah beban fixed cost dan pajak.
“Jadi kami minta PMK 23 dapat diperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak,” kata Shinta.
Di samping stimulus fiskal dalam bentuk keringanan pajak, dia menegaskan, pemerintah memberikan stimulus berupa keringanan pembayaran kredit melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020. Menurut Shinta, masalah terbesar pemberian stimulus kredit adalah ketidaklancaran distribusi stimulus di sektor perbankan. Pasalnya, pemerintah melalui OJK dan Bank Indonesia absen memberikan petunjuk teknis kepada perbankan. Akibatnya, bank enggan menjalankan aturan tersebut karena tidak ada kepastian terkait penanggungan risiko.
“Untuk itu, pemerintah harus memberikan arahan teknis yang lebih baik kepada sektor perbankan agar terjadi percepatan realisasi stimulus kredit kepada pelaku usaha, khususnya untuk realisasi restrukturisasi kredit usaha,” imbuh Shinta.
Sementara itu, terkait keringanan biaya listrik yang mesti dibayarkan pelaku usaha kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN), menurut Shinta, pelaku usaha sebetulnya sangat berharap biaya energi bisa turun secara objektif, berdasarkan penurunan harga minyak dunia atau sesuai pemakaian tanpa biaya langganan (minimum payment). Permintaan ini cukup masuk akal dan adil untuk dilakukan dalam waktu dekat.
Prosesnya Harus Mudah
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menuturkan, perluasan stimulus fiskal berupa pembebasan dan pengurangan perpajakan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh Pasal 25 dalam situasi pandemi Covid-19 sangat baik bagi industri hilir sawit termasuk pengolahan minyak nabati berbasis sawit di Tanah Air. Dengan stimulus tersebut diharapkan meringankan cash flow perusahaan sehingga operasional perusahaan tetap berjalan.
“Kalau tidak ada cash flow maka bisnis turun, perusahaan bangkrut, dan mengharuskan melakukan lay off pekerja. Jadi, stimulus ini bagus sekali buat industri pengolahan sawit,” ujar dia.
Hanya saja, kata Sahat Sinaga, bukan saja implementasinya yang mesti dipercepat namun proses di lapangan harus dengan prosedur yang mudah. Di sisi lain, perlu dibuat time limit atau batas waktu tertentu sehingga dampaknya terasa ke industri khususnya industri sawit mengingat sawit memberikan sumbangan devisa yang besar bagi negara.
“Kami apresiasi betul kecepatan pemerintah dalam bertindak mengurangi beban pelaku usaha dari Covid-19. Tapi kami ingin stimulus ini hendaknya dibuat prosedur yang sederhana, petugas jangan ribet, proses perhitungan mudah, jangan sampai ada nego di luar. Kalau ini dijalankan, stimulus ini bisa men-encourage industri sawit khususnya hilir,” jelas dia.
Sahat memastikan hingga saat ini industri hilir minyak nabati masih berjalan normal, belum ada perusahaan yang berhenti operasi ataupun melakukan lay off pekerja. Perusahaan melakukan berbagai strategi dengan lebih menggenjot produksi produk hilir sawit yang dibutuhkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19, seperti minyak goreng, margarin, sabun, dan hand sanitizer.
“Sebagian besar anggota GIMNI yang bergerak di bidang produksi pangan, minyak goreng, sabun, dan hand sanitizer tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa dan setiap anggota GIMNI berpegang kepada Sistem Informasi Industri Nasional agar produksi tetap berjalan dan kebutuhan pokok masyarakat tetap terjaga,” ungkap Sahat Sinaga.
Namun demikian, dia menilai saat ini ada yang urgent untuk segera dicarikan solusinya yakni kelonggaran bagi industri hilir sawit untuk meningkatkan plafon pinjaman kredit guna menutupi tertundanya pembayaran dari para pembeli produk hilir sawit. Hal ini mengingat saat ini pembayaran dari buyer agak tersendat atau tertunda karena kondisi sulit ini.
“Stimulus seperti ini tentu hanya bagi perusahaan yang memang bonafide dalam artian pembayaran pinjamannya lancar ke pihak bank. Jadi, sambil menunggu stimulus fiskal perpajakan melalui revisi PMK No 23 Tahun 2020 itu, akan lebih baik juga ada stimulus kelonggaran kredit tersebut,” ujar Sahat.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto menjelaskan, perikanan merupakan salah satu sektor yang cukup parah terdampak Covid-19. Terdapat sejumlah perusahaan perikanan yang terpaksa merumahkan 50% karyawannya akibat pembatalan order pembelian dari luar negeri. Saat ini, pengiriman hasil perikanan segar dan hidup selain permintaannya merosot juga terkendala banyaknya pesawat kargo yang offline.
“Karena itu, kebijakan berupa insentif dan stimulus apapun bentuknya kita sambut baik pada situasi yang sulit seperti saat ini, termasuk pembebasan dan pengurangan perpajakan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh Pasal 25,” ungkap Yugi kepada Investor Daily di Jakarta, Sabtu (25/4).
Menurut Yugi, sembari menunggu implementasi stimulus fiskal, yang mendesak dilakukan saat ini di sektor perikanan adalah penyerapan hasil ikan pembudidaya dan nelayan. Selain perlu kewajiban wajib serap oleh BUMN perikanan seperti Perindo dan Perinus, perlu kebijakan serap lainnya.
“Untuk mencegah bangkrutnya pembudidaya ikan dan nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa melobi petinggi TNI untuk membeli ikan lele, bandeng, udang, dan lainnya yang macet penjualannya untuk lauk pauk pasukan. Selain untuk pasukan mungkin bisa juga untuk keluarga TNI dan ASN, bentuk produknya bisa variatif, dari segar sampai olahan,” ujar dia.
Dia menjelaskan, produk olahan dengan dijadikan lauk pauk pasukan TNI dan ASN mudah didistribusikan dan tidak perlu menyediakan lemari pendingin, apalagi saat ini semua jenis ikan bisa diolah. Anggaran untuk lauk pauk TNI dan Polri sudah ada di APBN sehingga tidak perlu minta persetujuan lagi ke Kementerian Keuangan dan DPR RI. Selain itu, industri katering juga bisa diberi order dengan dana jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang-orang yang saat ini tidak punya penghasilan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menjelaskan, sektor usaha kehutanan termasuk yang terdampak Covid-19 cukup berat. Alasannya, sampai triwulan I-2020, nilai ekspor kayu olahan hasil hutan turun 5% dari periode sama 2019. Penurunan ini akan terus berlanjut pada triwulan II-2020. “Penurunan ekspor di sektor hilir ini berdampak berantai di sektor hulu sebagai penyedia bahan baku. Pada triwulan I-2020, produksi kayu bulat alam telah turun 15% dari tahun lalu,” jelas Purwadi.
Menurut Purwadi, pelemahan kinerja ekspor tersebut disebabkan wilayah utama tujuan ekspor hasil hutan olahan Indonesia, yakni Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan Korea Selatan, saat ini termasuk dalam kelompok yang terdampak Covid-19 sangat parah, sehingga permintaan kayu olahan menurun tajam.
“Karena itu, kami menyampaikan apresiasi kepada pemerintah atas rencana perluasan stimulus fiskal berupa insentif perpajakan di sektor kehutanan itu. Insentif ini sangat diperlukan untuk memperkuat daya tahan dunia usaha kehutanan dalam menghadapi Covid-19, bagaimanapun saat ini usaha kehutanan menyerap tenaga kerja cukup besar sekitar 1.550.000 orang,” ungkap Purwadi.
Perluasan Stimulus
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya sedang merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2020 tentang insentif pajak, yang sebelumnya hanya untuk sektor manufaktur yang terdiri dari 19 subsektor yang terdampak virus corona, sekarang ditambah 18 sektor lain.
“Jika ditotal seluruh insentif pajak bagi industri dalam PMK Nomor 23/2020 itu, selain dari insentif PPh 21, terdapat akumulasi insentif Rp 35,3 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers secara virtual usai rapat terbatas di Jakarta, Rabu (22/4).
Perluasan sektor akan menyentuh sektor nonmanufaktur seperti perdagangan, pariwisata, dan transportasi. Jadi, bila ditambah 18 sektor dan 749 KBLI (klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia) itu, hampir seluruh sektor perekonomian dapat insentif perpajakan. Pembahasan revisi peraturan tersebut dapat selesai selambat-lambatnya pada awal pekan ini.
Nantinya, lanjut dia, selain insentif PPh Pasal 21, ke-18 sektor industri itu akan mendapatkan insentif PPh Pasal 22 impor yang dibebaskan selama enam bulan, PPh Pasal 25 yang didiskon 30%, serta restitusi yang dipercepat dengan batasan hingga Rp 5 miliar.
Kemudian, pemerintah juga akan memberikan keringanan pajak bagi UMKM berupa pembebasan PPh selama enam bulan ke depan. Selama ini, pelaku UMKM yang memiliki omzet hingga maksimal Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5%. Nantinya, pajak UMKM akan ditanggung pemerintah.
Sumber: Investor.id