Keinginan pemerintah agar industri dalam negeri menggarap pasar ekspor non tradisional ditanggapi positif oleh pengusaha sawit. Namun, pengusaha meminta insentif dari pemerintah.
WAKIL Ketua Umum Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang mengatakan, produk sawit Indonesia harus kompetitif sebelum masuk ke pasar baru. Permintaan pasar non tradisional masih relatif kecil dan belum didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Oleh karena itu. pemerintah diharapkan mampu menerapkan regulasi yang fleksibel agar produk sawit yang diekspor berdaya saing. “Kita diminta untuk membuka pasar-pasar nontradisional, untuk itu kita butuh tools yang memadai, yang menjadi insentif bagi pengusaha,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Contohnya pasar negara-negara Afrika yang saat ini permintaannya masih terbatas dalam volume kecil sekira 30-40 ton. Untuk pasar seperti ini.
pengusaha sawit Indonesia harus mengekspor sawit langsung dalam kemasan karena tidak ada fasilitas penampungan (storage) di tempat tujuan ekspor.
Agar layak sekaligus mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi pengusaha, maka penting untuk menekan biaya yang dapat menyebabkan harga produk yang diekspor tak kompetitif. Misalnya dengan mengurangi atau menghilangkan pungutan yang dikenakan untuk ekspor tersebut.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menambahkan, fleksibilitas pemerintah juga dibutuhkan untuk menjaga agar pangsa minyak sawit Indonesia di pasar-pasar utama tidak tergerus. Contohnya pasar India, yang meski ekspornya secara volume menunjukkan peningkatan, tapi pangsa pasarnya menurun.
Gapki juga merujuk pada data yang disampaikan Chairman Pakistan Edible Oil Conference Abdul Rasheed Jan mohammad saat berbicara dalam CEIPO 2018. Disebutkan bahwa di paruh pertama 2018, pangsa pasar sawit Indonesia di Pakistan menjadi sebesar 69 persen dan Malaysia 31 persen.
Padahal, di 2017 pangsa pasar sawit Indonesia dan Malaysia di Pakistan masing-masing 80 persen dan 20 persen. Bahkan, pada 2016 perbandingannya adalah 82 persen dan 18 persen.
Penyebab penurunan itu adalah makin kompetitifnya harga minyak sawit Malaysia terkait kebijakan pemerintah Negeri Jiran itu di sektor kelapa sawit-nya. Di bagian lain, minyak sawit Indonesia juga harus berkompetisi dengan minyak nabati lainnya.
“Ini kan warning, jangan sampai pangsa pasar kita terus turun,” cetusnya.
Menurutnya, perlu ada pendekatan di level pemerintah agar produk sawitIndonesia tetap kompetitif. Selain itu. perlu dikaji ulang mengenai pungutan bagi ekspor sawit untuk meningkatkan daya saing sawit Indonesia.
“Kita sudah usulkan soal penurunan itu. tapi hingga saat ini dibahas pun belum. Pemerintah harusnya lebih fleksibel, jangan sampai pangsa pasar kita nanti terus turun,” tukasnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengatakan, dunia usaha dan pemerintah perlu untuk meningkatkan ekspor. Salah satunya caranya dengan mengupayakan atau mengalihkan serta mencari pasar baru potensial.
“Pemerintah akan mencari negara potensial yang selama ini belum banyak digarap tetapi memiliki potensi dan demand yang cukup menjanjikan terutama pasar ekspor nontradisional di beberapa kawasan,” ujarnya.
Pihaknya berharap, paling tidak upaya pencarian .pasar baru mampu memberikan kompensasi dampak kehilangan ekspor ke negara yg mengenakan hambatan. Sejak kenaikan tarif CPO dua kali dari 15 menjadi 30 persen, volume ekspor CPO Indonesia ke India turun sekitar 15 persen. Terakhir bea masuk kembali dinaikan menjadi 44 persen pada 1 Maret.
“Artinya pengalihan pasar ekspor diharapkan menidglcht minimal 15 persen. Strategi lainnya tentu peningkatan konsumsi di dalam negeri termasuk pemenuhan program peningkatan penggunan biodisel sebagai Energi Terbarukan yang sudah berjalan,” jelasnya.
Sumber: Rakyat Merdeka