Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai industri sawit perlu dinaungi badan khusus. Upaya itu diyakini bisa membuat produksi sawit naik.

DIREKTUR Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengungkapkan, industri sawit dalam negeri tak akan maju jika pemangku kebijakan masih tercecer di berbagai kementerian. Terbukti, program seperti penggalangan dana, promosi, atau peremajaan kelapa sawit (replanting) tidak maksimal.

“Malaysia bisa dengan cepat memutuskan kebijakan untuk mengikuti policy global, kalau kita nggak. Melihat hal itu. sawit perlu dikelola satu institusi. Nggak lagi di kehutanan, pertanian, perindustrian, nggak dimana-mana, biar satu badan khusus,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Sahat menjelaskan, total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14 juta hektare (ha). Jika 90 persen dari 14 juta ha adalah tanaman menghasilkan, seharusnya produksi kelapa sawit bisa 50 juta ton per tahun. Faktanya, kebun yang ada saat ini hanya menghasilkan 42 juta ton per tahun.

“Dengan 42 juta ton pertahun, nilai bisnisnya mencapai 27 juta miliar dolar AS. Dengan kondisi seperti sekarang, menurut saya ini nggak optimal,” cetus Sahat.

Dia juga menyebut haluan bisnissawittelah berubah. Saat ini pelaku usaha harus berupaya melindungi volatilitas pasar dan kampanye hitamsawityang tengah gencar dilakukan beberapa negara. Di samping itu, Indonesia sangat minim dalam hal penelitian dan pengembangan (Research and Development/ RD).

Padahal, lanjut Sahat, seluruh produk turunan sawit punya nilai. Sebut saja biomassa, bioliquid, dan bionutrisi yang masing-masing memiliki nilai tambah ekonomi. “Ini yang menjadikan kita berpikir, kalau tercecer di mana-mana, tidak terkelola dengan baik. Merisaukan,” sesalnya.

Belum lagi urusan administrasi. Sahat membeberkan data sawit Indonesia paling amburadul dibandingkan negara lain. Misalnya jumlah pasti area sawit, produksinya dalam setahun, maupun produktivitasnya.

“Dulu ditangani satu pemerintahan, sekarang ditangani bupati dan lainnya. Giliran ada replanting, bupati nggak merasa. karena nggak ada dana khusus untuk mengelola itu. Siapa yang mengambil keputusan nggak ada.” tuturnya

Meski begitu. Sahat mengaku belum membicarakan ini dengan pemerintah. Sebab yang lebih tepat mengusulkan hal ini adalah Dewan sawit Indonesia (DSI). “Seharusnya dalam pembentukan organisasi yang sedang berjalan, dewan sawit harus memilih figur yang dekat dengan pemerintah,” katanya.

Sahat mengatakan, dana operasional badan khusus sawit tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran operasionalnya bisa didapat dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS).

“Keuntungannya. Pertama, kita bisa cepat mengambil keputusan strategis dari isu dunia. Kedua, fokus untuk mengembangkan penelitian agar nilai tambah lebih baik.” tukas Sahat.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, Indonesia masih kukuh menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan total produksi tahun 2017 sebesar 42,04 juta ton. Dari total produksi tersebut, sekitar 31,05 juta ton terserap di pasar ekspor.

“Dengan produksi dan ekspor sebesar itu, minyak sawit adalah komoditas penyumbang devisa terbesar yang mencapai 22.9 miliar dolar AS,” kata Joko.

Anggota Komisi VI DPR Nasri 1 Bahar masih mempelajari tujuan pendirian badan khusus tersebut. Jangan sampai badan sawit malah menambah beban negara.

 

Sumber: Rakyat Merdeka