Masyarakat internasional saat ini dan terutama dimasa yang akan datang menghadapi triple-crisis yang mungkin lebih parah dari pada masa-masa sebelumnya. Krisis yang dimaksud adalah krisin pangan (food crisis), krisis energi (energy crisis), dan krisis lingkungan (evironmental crisis), yang salaing terkait dan bila tidak dikelola secara global dapat bersifat trade-off. Ketika krisis tersebut akan mudah menjelma akan mudah menjadi krisis ekonomi, sosial dan keamanan global.

Dalam kurun waktu tahun 2010-2050, negara-negara berkembang yang didalamnya 75 persen (sekitar 5 milyar orang) penduduk dunia, akan naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah-tinggi. Peningkatan pendapatan dan jumlah penduduk yang begitu besar, akan memerlukan pangan dan energi yang besar pula, yang diperkirakan sekitar 5-10 kali lipat dari produksi pangan dan energi dunia saat ini.

Jika tambahan kebutuhan energi tersebut tetap dipenuhi dari bahan bakar fosil (BBF) selain makin mahal, akan mempercepat peningkatan temperatur atmofir bumi. Jika tempertur atmofir bumi meningkat, akan menurunkan produksi pangan global (Cline, 2007) dan kenaikan harga pangan global (Esterling et.al. 2007). Jika tambahan kebutuhan energi tersebut sebagian dipenuhi dari biofuel (tanpa peningkatan produksi bahan baku yang dramatis) akan meningkatkan harga bahan pangan global secara dramatis (FAO, 2007; IFPRI, 2007). Kedua cara memenuhi tambahan kebutuhan energi tersebut akan menimbulkan krisis ekonomi, sosisl dan keamanan global.

Untuk mencegah terjadinya triple-crisis tersebut, tidak banyak pilihan bagi masyaraat internasional kecuali meningkatkan secara dramatis produksi bahan pangan dan bahan biofuel global. Sayangnya, untukmeningkatkan produksi bahan pangan dan bahan biofuel global pada negar-negara produsen utama selama ini seperti Eropa dan USA tidak memiliki ruang gerak yang cukup lagi. Untuk memenuhi kebutuhan (mempertahankan komsumsi tinggi) domestiknya saja akan kewalahan. OECD (2006) memperkirakan jika 10 persen saja komsumsi energi fosil (BBF) Eropa dan USA disubsidi oleh biofuel, maka Eropa perlu mengkonversi 70 persen dan USA 30 persen lahan pertaniannya untuk produksi bahan baku biofuel. Dengan perkataan lain, solusi global yang diharapkan dan masih terbuka adalah dari negara-negara berkembang khususnya dari negara tropis seperti Indonesia.

Solusi global yang diperlukan untuk menghindari terjadinya triple crisis tersebut adalah produksi pertanian (termasuk pertanian) secara dramatis. Hanya melalui peningkatan produksi pertanian yang dramatis trade off antara pangan, energi dan lingkungan terpecahkan.

Keberhasilan Indonesia menjadi produsen terbesar minyak sawit global beserta manfaatnya baik bagi Indonesai dan masyarakat internasional, merupakan salah satu success story sinergi antara pemerintah Indonesia, dunia usaha swasta, BUMN, petani dan Bank Dunia (Cheng Hai Teoh, 2010; Siapayung, 2012). Karya besar tersebut potensial dimanfaatkan sebagai bagian solusi pangan, energi, ekonomi dan lingkungan global.

Sumber: Indonesia Dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global, GAPKI 2013

 

Sumber: Sawitindonesia.com