Secara alamiah, perilaku satwa-satwa liar tidak mudah keluar dari zona nyaman habitatnya. Komunitas sawtwa liar bartahan tetap berada pada habitatnya secara turun temurun. Sehingga jika satwa-satwa liar terpaksa keluar dari habitatnya, berarti “rumahnya” satwa-satwa liar tidak nyaman lagi atau terancam. Mengapa tidak nyaman?
Selain pembalakan kayu, ancaman satwa liar juga datang dari perburuan satwa liar (ilegal hunting) yang juga marak dari tahun ke tahun. Setiap tahun Kementerian Kehutanan melaporkan ratusan perburuan ilegal yang berhasil ditanagkap. Lagi-lagi yang tidak tertangkap jauh lebih besar. Penemuan gajah mati namun gadingnya sudah hilang, bangkai harimau tanpa kulit yang ditemukan di hutan-hutan lindung. Banyaknya kasus penyelundupan satwa-satwa liar yang dilindungi setiap tahun dari berbagai daerah menujukan parahnya masalah ini.
Sedang yang ketiga adalah kebakaran hutan lindung dan konservasi setiap tahun. Kementerian Kehutanan mencatat bahwa setidaknya setiap tahun seluas 3-5 juta hektar hutan lindung/konservasi, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata terbakar. Ketiga faktor (logging, perburuan satwa liar dan kebakaran hutan) yang mengancam satwa liar tersebut menunjukn masih buruknya tata kelola hutan lindung/konservasi “rumahnya” satwa-satwa liar.
Tata kelola ini lah yang perlu diperbaiki pemerintah kedepan. Pemerintah harus tegas menghentikan kegiatat apapun di hutan lindung/konservasi yang merupakan habitat alamiah satwa-satwa liar. “Rumahnya” satwa liar yang terbakar dan rusak akibat logging perlu segera di restorasi. “Mengkambing hitamkan” kebun sawit dikawasan budidaya sebagai faktor yang mengancam habitat satwa-satwa liar, selain tidak berdasar dan hanya mengalihkan permasalahan yang sebenarnya yakni tata kelola yang buruk habitat satwa liar di hutan lindung/konservasi.
Sumber: Mitos vs Fakta, PASPI 2017
Sumber: Sawitindonesia.com