JAKARTA-Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan bahwa persiapan pelaksanaan kebijakan mandatori minyak goreng dalam kemasan (migor kemasan) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2020 terus berjalan, baik oleh pemerintah maupun pelaku industri. Khusus untuk migor kemasan sederhana, saat ini produksi mesin pengisian kemasan (filling machine) tengah dilakukan oleh PT Pindad dengan bantuan desain dari PT Rekayasa Industri (Rekin), yang ditargetkan dalam waktu dekat mesin tersebut sudah bisa diluncurkan.
Direktur-Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan, mesin pengisian kemasan didesain dengan mengacu pada kebutuhan industri. Mesin itu berkapasitas 50 pack perjam untuk kemasan seperempat, setengah, hingga satu liter minyak goreng. Harganya berkisar Rp 8,50 juta per unit Dalam hal ini, karena Pindad sudah memiliki pabrik yang bisa menghasilkan mesin, tidak membutuhkan investasi baru. “Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan meluncurkan mesin produksi Pindad tersebut dalam dua pekan di Kantor Pindad, Bandung. Peluncuran dijadwalkan dihadiri para produsen migor nasional, skala besar dan kecil,” kata dia di Jakarta, kemarin.
Filling machine tersebut dirancang sedemikian sehingga langsung menampilkan harga eceran tertinggi (HET) pada kemasan. Selain itu, dirancang hanya dapat mengisi minyak goreng yang dimiliki si produsen. Mesin-mesin tersebut akan dibeli oleh produsen migor untuk kemudian diberikan dan kepada pedagang. Pedagang lalu menggunakan mesin untuk mengisi migor ke dalam kemasan langsung di lokasi. Migor yang diisi berasal dari produsen yang memiliki filiing machine.
Bagi produsen, lanjut dia, membeli filling machine baru berarti investasi sekitar Rp 600 juta untuk kapasitas 800 Pack perjam. Hanya saja, mesin tersebut membutuhkan penyesuaian kecepatan jika harus bergantian mengisi kemasan seperempat, setengah, satu, hingga dua atau lima liter. Apabila kecepatan mesin diturunkan untuk mengisi kemasan yang seperempat atau setengah, terdapat loss produksi sekitar 2-3%. “Mereka pusing memikirkan masalah skala ekonomi produksi. Padahal investasi besar. Dengan mesin dari Pindad ini, investasi lebih kecil, mereka bisa membeli mesin ini dan menyerahkan kepada pedagang di remote area,” jelas dia.
Pedagang bisa mendapatkan mesin tersebut setelah menandatangani kesepakatan dengan distributor bahwa mesin itu tidak boleh dipindahtangankan atau diperjualbelikan atau digadaikan dan hanya untuk mengemas migor dari si produsen dengan merek yang juga milik produsen. Dengan begitu, perusahaan bisa menjamin dan menelusuri keberadaan migornya. Bagi pedagang, juga tidak lagi direpotkan urusan izin edar ke BPOM karena migor yang dikemas dan dijual adalah milik si produsen. Mesin pengemasan migor kemasan sederhana buatan Pindad juga akan dilengkapi GPS dan interlock, sehingga tidak ada manipulasi di lapangan. “Migor yang beredar bisa ditelusuri. Produsen bisa mengetahui mesinnya ada di mana. Begitu lokasinya dikunci, ketika berpindah misalnya di atas radius 5 meter, mesin akan mati. Ini adalah breakthrough,” jelas dia.
GIMNI menilai mesin itu merupakan terobosan sangat tepat sehingga program mandatori migor kemasan bisa terlaksana. Hal ini mengingat kewajiban migor dalam kemasan sudah lima menteri berganti namun tidak juga terlaksana. “Baru setelah Mendag sekarang, bisa terealisasi. Masalahnya itu di filling machine, karena itu setelah ada ide ini, produsen bersama Pindad dan Rekin saling berkonsultasi dan disampaikan kepada Mendag. Mendag setuju karena dengan mekanisme ini maka pedagang tidak perlu membeli mesin karena bisa menggunakan filling machine si produsen. Produsen juga tidak lagi pusing memikirkan investasi filling machine baru,” kata Sahat
Margin Lebih Baik
Dalam kesempatan itu, Sahat mengatakan, pedagang berpeluang menikmati margin lebih tinggi dengan menggunakan mesin buatan Pindad. Sebab, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sudah memuat biaya untuk kemasan. “Pembeli bisa datang ke pedagang, membawa botol sendiri. Dia membeli minyak goreng dengan HET. Artinya, biaya kemasan yang ada di struktur HET itu dinikmati oleh pedagang. Nah, sebagai insentif bagi pembeli yang menggunakan botol sendiri, pedagang memberikan sebagian dari biaya kemasan itu,” jelas dia.
Dengan penggunaan mesin pengisian kemasan tersebut pembeli dan pedagang saling berbagi biaya kemasan yang ada di HET. Bahkan, pemerintah juga bisa mendapatkan data produksi secara rutin. Artinya, pemerintah bisa memperhitungkan pajak yang akan diterima negara dari pajak pertambahan nilai (PPN). Dari hasil pantauan pelaku usaha minyaksawityang berangkat ke India, mereka juga menemukan bahwa India telah menerapkan sistem yang sama, filling machine yang langsung digunakan pedagang. “Idenya memang brilian. Selain menjalankan wajib kemasan, ketertelusuran terjamin, dan bisa mengedukasi masyarakat untuk mengurangi konsumsi plastik. Kita tahu, pembeli apalagi ibu-ibu sangat suka dengan diskon dan insentif,” kata Sahat
Damiana Simanjuntak
Sumber: Investor Daily Indonesia